JAKARTA, Berita HUKUM - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Kamis (13/6) memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,00%, dengan suku bunga Deposit Facility dan suku bunga Lending Facility masing-masing tetap sebesar 4,25% dan 6,75%.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs dalam siaran persnya hari ini menjelaskan, kebijakan menaikan BI Rate itu merupakan bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive merespons meningkatnya inflasi, serta memelihara kestabilan makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan di tengah ketidakpastian di pasar keuangan global.
Ia menegaskan, Bank Indonesia tetap melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya, dan terus menjaga kecukupan likuiditas di pasar valas domestik. “BI akan melanjutkan penguatan operasi moneter melalui pengayaan instrumen moneter dan pendalaman pasar uang rupiah dan valas,” kata Jacobs.
Disamping itu, BI juga akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah juga untuk meminimalkan potensi tekanan inflasi, serta memelihara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Menurut Peter Jacobs, sejalan dengan melemahnya perekonomian global, DG BI juga mencatat, bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan II-2013 diprakirakan bias ke batas bawah dari kisaran prakiraan sebelumnya sebesar 5,9% - 6,1%.
“Berlanjutnya krisis di Eropa dan perlambatan ekonomi China berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi global untuk semakin bias ke bawah. Perkembangan tersebut berdampak pada terbatasnya pertumbuhan ekspor dan investasi, khususnya investasi non-bangunan. Sementara itu, dorongan pertumbuhan terutama berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi bangunan yang diprakirakan masih cukup kuat,” terang Direktur Departemen Komunikasi BI itu.
Mengenai Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Peter Jacobs mengemukakan, RDG BI memperkirakan pada triwulan II-2013 ini akan memalik. Perbaikan NPI ditopang oleh surplus yang cukup besar di Transaksi Modal dan Finansial (TMF), yang didukung oleh aliran masuk modal investasi langsung dan portofolio seiring.
Di sisi lain, sesuai dengan pola musimannya defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2013 diprakirakan meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Kinerja ekspor masih tertekan karena lemahnya permintaan dan penurunan harga komoditas dunia, sementara impor termasuk impor migas masih meningkat.
“Cadangan devisa pada akhir Mei 2013 sebesar 105,1 miliar dolar AS atau setara dengan 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, di atas standar kecukupan internasional,” ungkap Peter Jacobs.
Nilai Tukar Rupiah
Mengenai nilai tukar rupiah, Rapat Dewan Gubernur BI mencatat pada Mei 2013, nilai tukar rupiah secara point to point melemah sebesar 0,74% (mtm) mencapai Rp9.795 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 0,36% (mtm) mencapai Rp 9.758.
“Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah terutama dipengaruhi oleh reposisi aset keuangan dari emerging market terkait kemungkinan penyesuaian stimulus moneter oleh the Fed, serta sentimen terhadap defisit fiskal dan transaksi berjalan di dalam negeri,” jelas Peter Jacobs sembari menyebutkan, pelemahan nilai tukar juga terjadi pada mata uang negara-negara di kawasan Asia.
Ia menegaskan, Bank Indonesia terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya dan tetap menjaga kecukupan likuiditas di pasar valas.(es/skb/bhc/opn) |