JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menyatakan, kepada seluruh kadernya di DPR untuk tidak ikut dalam pengajuan interpelasi kepada Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Anas menilai interpelasi tersebut tidak tepat dan jauh dari asas manfaat. ''Untuk itu, anggota fraksi Partai Demokrat harus membantu Menteri BUMN untuk menjelaskan konteks kebijakan tersebut,'' katanya saat dihubungi wartawan, Selasa (17/4).
Anas menambahkan, Interpelasi memang hak Konstitusional DPR. Hanya saja, hak tersebut harus digunakan secara tepat, bijak dan mempertimbangkan asas manfaat. Menurut Anas, jika Interpelasi digunakan saat ini, dikhawatirkan menjadi faktor potensial yang memanasnya suasana Politik. Bahkan, pengajuan Hak Interpelasi dinilai kurang menguntungkan bagi ketenangan dan konsentrasi kerja Pemerintah.
''DPR masih bisa menempuh cara lain untuk menjalankan fungsi pengawasan secara efektif dan konstruktif,'' imbuh mantan Ketua Umum PB HMI ini.
Hal senada juga dinyatakan, Sekjen PKB, Imam Nahrawi, dirinya yang menilai interpelasi itu buang-buang energi. Padahal ada cara lain yang dapat ditempuh oleh DPR agar mendapat penjelasan tentang kebijakan Dahlan itu.
"Saya lebih senang jika DPR melakukan 'Tabayyun' (meminta penjelasan) terlebih dahulu dengan Menteri BUMN, baik melalui rapat kerja atau lainnya. Ini lebih bagus dan tidak mengurangi atau mengkebiri fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya kebijakan Pemerintah," kata Imam saat dihubungi wartawan.
Untuk itu, sebagai Sekjen DPP PKB, dirinya meminta kepada seluruh kader Fraksi PKB DPR RI, khususnya yang di Komisi VI, untuk tidak ikut-ikutan mengusulkan interpelasi terhadap Keputusan Menteri (Kepmen) No. 236/MBU/2011.
Seperti diketahui, sebanyak 38 anggota DPR yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VI, Aryo Bimo mengajukan interpelasi ke pimpinan DPR agar bisa mendapat penjelasan dari Presiden Yudhoyono atas kebijakan Dahlan yang mendelegasian sebagian wewenang Menteri BUMN, kepada Pejabat Eselon I, Dewan Komisaris, dan Direksi BUMN.
Melalui Kebijakan tersebut, Dahlan melakukan pemangkasan birokrasi, seperti penunjukan Direksi BUMN tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan tanpa mekanisme tim penilai akhir (TPA). Cara Dahlan ini telah terjadi dalam kasus penunjukan langsung direksi PT Garuda Indonesia Tbk, PT Pelni (Persero), PT RNI (Persero), dan PT Perkebunan Nusantara III (Holding).
Kebijakan Dahlan itu dianggap telah melanggar UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, dan UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.(dbs/rob/spr)
|