JAKARTA, Berita HUKUM - Ratusan anggota Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) bersama elemen pekerja lain mengadakan aksi, "Selamatkan Pelabuhan Nasional, Save JICT-Koja". Adapun, aksi dilakukan di depan gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia di Jl. Medan Merdeka Selatan No. 13 Jakarta dengan bertekat akan mendirikan tenda bermalam selama satu bulan ke depan.
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT, M Firmansyah sampaikan bahwa pekerja mengkritisi perpanjangan kontrak pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia JICT-Koja periode 2015-2038 kepada Hutchison Hong Kong yang terbukti melanggar Undang-Undang (Audit Investigatif BPK RI).
Kemuka Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT, M. Firmansyah melanjutkan bahwa; pertama (1), Manajemen Pelindo II era RJ Lino tidak pernah memasukan rencana perpanjangan sebagai Rencana Kerja dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan *(RKAP). Selain itu, tidak ada informasi terbuka kepada pihak pemangku kepentingan sejak 2014.
Yang kedua (2), Perpanjangan kontrak JICT-Koja tanpa izin konsensi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan.
Selanjutnya, ketiga (3), Mekanisme pemilihan mitra Hutchison sarat penyalahgunaan wewenang dan manajemen JICT-Koja yang mengesampingkan opsi pengelolaan kedua pelabuhan petikemas secara mandiri
"Atas itulah, maka pelanggaran Undang-Undang tersebut, BPK RI menyebut negara rugi hampir Rp 6 trilyun," ungkap Firmansyah, Senin (17/12).
Pengelolaan pelabuhan nasional JICT-Koja yang berdampak kepada hajat hidup rakyat Indonesia harus berlandaskan semangat konstitusi, bukan liberalisasi asing yang membahayakan kedaulatan dan hilangnya potensi ekonomi nasional.
Selain itu, dampak sosial liberalisasi asing di pelabuhan tidak kalah terpuruk. Pekerja yang membangun produktivitas, hingga menjadikan pelabuhan peti kemas JICT terbaik di Asia malah di-phk massal dan pola outsourcing yang melanggar aturan pun subur di pelihara.
Kemudian lanjutnya, "pihak asing leluasa melakukan pemberangusan halus dan kasar kepada pekerja yang mengkritik buruknya pengelolaan pelabuhan serta pemenuhan asas keadilan," jelasnya.
Padahal, patut digarisbawahi, ungkapnya secara proporsional pekerja pelabuhan adalah garda terdepan penjaga kedaulatan negara dan amanat konstitusi.
Saat ini baik pemerintah dan aparat penegak hukum terkesan berlarut-larut dalam menyelesaikan kasus yang duduk permasalahannya sudah terang benderang ini.
"Apalagi Hutchison terus abai dan memaksakan perpanjangan kontrak berjalan di JICT dan Koja tanpa alas hukum," tegas Firmansyah.
Untuk itu, Serikat Pekerja JICT menuntut pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum supaya :
(1) Bersikap atas nama hukum Indonesia mengusut kasus indikasi korupsi kontrak JICT-Koja. Negara tidak boleh kalah dengan manuver dan pelanggaran aturan oleh asing di pelabuhan nasional.
(2) Kembalikan JICT-Koja ke pangkuan Ibu Pertiwi karena SDM, sistem dan peralatan sudah mumpuni. Silahkan Hutchison berinvestasi di pelabuhan lain yang belum tergarap, bukan pelabuhan mapan dan untung seperti JICT-Koja yang kontraknya berakhir 2019.
"Kami mengajak seluruh komponen bangsa bersama-sama selamatkan aset strategis nasional "Pelabuhan JICT-Koja" untuk masa depan Indonesia yang lebih baik," tandasnya. #SaveJICTKoja #ByeHutchison.(bh/mnd) |