JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Uji materiil tersebut dimohonkan oleh dua orang warga negara Nu’man Fauzi dan Achiyanur Firmansyah yang mempunyai hak suara pada Pilkada 2015.
Diwakili Kuasa Hukum Vivi Ayunita, Pemohon berpendapat potensi lahirnya proses Pilkada yang jujur dan adil dapat terhambat dengan adanya ketentuan penggunaan APBD untuk pendanaan kampanye sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran fundamental terhadap hak-hak warga negara, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Adapun Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada menyatakan:
Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai APBD.
Menurut Pemohon, besarnya anggaran yang diperlukan dalam Pilkada makin membengkak dengan adanya ketentuan tersebut. Sebelum adanya undang-undang a quo, pelaksanaan kampanye menjadi tanggung jawab dan didanai oleh masing-masing pasangan calon. Sebab, kampanye adalah sarana untuk menyampaikan visi, misi, dan program pasangan calon disertai simbol atau tanda gambar yang bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu.
“Mengapa kegiatan meyakinkan pemilih untuk mendukung yang seharusnya dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanye tersebut harus difasilitasi oleh KPU dengan dana APBD. Hal demikian seharusnya tidak dibebankan pada APBD karena terkait dengan kepentingan pribadi masing-masing pasangan calon,” tutur Vivi dalam sidang perdana perkara nomor 120/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (8/10) lalu.
Seharusnya, imbuh Pemohon, pembiayaan dengan menggunakan dana APBD hanyalah terhadap publikasi tentang pelaksanaan Pilkada yang bersifat umum, misalnya sosialisasi atau ajakan bagi masyarakat untuk dapat turut aktif menggunakan hak politiknya dalam Pilkada. Adanya ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada dinilai Pemohon tidak efektif dan justru mengakibatkan pemborosan penggunaan anggaran. Oleh karena itu, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim agar menyatakan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Wakil Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul meminta Pemohon mengelaborasi lebih lanjut kerugian konstitusional yang dialami. Selain itu, Majelis Hakim meminta Pemohon untuk mencermati Pasal 65 ayat (1) UU Pilkada karena Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) saling berkaitan. “Jadi, kalau minta dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat yang hanya ayat (2), nah itu tentu punya konsekuensi yang berbeda juga,” tukas Wahiduddin.(LuluHanifah/IR/mk/bh/sya) |