JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Tim pencari fakta (TPF) Mesuji dari Komisi III DPR membenarkan telah terjadinya aksi kekerasan di wilayah Mesuji, Lampung. Namun, jumlah korban tewas tidak seperti yang diberitakan media hingga 30 orang. Tim ini hanya menemukan dua korban tewas.
"Tidak sampai 30 orang. Korban meninggal dua orang di Mesuji Lampung. Satu orang di register 45 dan satu lagi di dekat BSMI (PT Barat Selatan Makmur Investasi-red)," kata anggota TPF Mesuji Komisi III DPR Martin Hutabarat kepada wartawan di gedung DPR, Senin (19/12). Ia merupakan satu dari 10 TPF Mesuji Komisi III DPR.
Menurut Martin, dalam rapat pleno bersama kapolda dan aparat keamanan setempat, aparat telah menegaskan tidak terlibat dalam aksi pembantaian tersebut. Tapi berdasarkan keterangan warga, satpam PT Silva Inhutani yang dibentuk polisi di Lampung dilengkapi dengan senjata api.
"Keterangan aparat, mereka tidak terlibat. Tapi satpam perusahaan itu dilatih dan dipersenjatai. Warga menyatakan ada senjata api, tapi aparat bilang tidak ada. Di register 45, menurut rakyat senjata api sengaja ditembak ke seorang korban. Kalau menurut aparat, mereka nembak karena ada serangan," imbuhnya.
Komisi III DPR, lanjut dia, sepakat membentuk Panja penegakan hukum mengenai pertanahan, perkebunan kehutanan, dan pertambangan. Ini terkait kasus sengketa tanah yang berujung pada konflik, seperti yang terjadi di wilayah Mesuji, Lampung dan Sumatra Selatan saja.
Peristiwa di Mesuji, jelas dia, disebabkan sengketa lahan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh penduduk sekitar dan perusahaan. Di wilayah Mesuji, Sumatra Selatan sendiri sudah ada tersangka dan telah diproses di pengadilan. Konflik tanah ini terjadi dengan dua perusahaan, yaitu perusahaan PT Silva Inhutani dan PT Barat Selatan Makmur Investasi.
Pada PT Silva Inhutani, sengketa ini berawal dari tanah seluas 33.500 hektare yang pada 1998 telah resmi menjadi milik pemerintah Indonesia, kemudian pemerintah Indonesia memberikan izin kepada perusahaan Malaysia untuk pengelolaan hutan tanaman industri. Kemudian, pada 2002 pemerintah mencabut izin itu.
Namun, pada 2004 pemerintah Indonesia kembali memberikan izin, tapi luas tanah itu semakin bertambah menjadi 42.760 hektare. "Yang jadi masalah, CV ini diduga dimiliki Malaysia, padahal tanah ini tidak boleh diperjualbelikan. Ini yang buat masyarakat resah," jelas Martin.
Masalah lain, yaitu PT Silva Inhutani menyalahi surat keputusan. Dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan, seharusnya perusahaan itu menanam tanaman industri seperti pohon yang menghasilkan kayu. Namun, perusahaan itu justru menanam singkong dan nanas.
"Perusahaan itu dalam likuiditas menanam singkong dan nanas yang dijual. Mereka (petani) merasa kalau tanam singkong dan nanas kenapa tanah harus dijual kepada swasta padahal bisa ditanam petani di sana," ujarnya.
Sementara itu, Wakil ketua Komisi IIII DPR Aziz Syamsuddin menyatakan bahwa DPR akan mengusulkan pemberlakuan moratotium pemanfaatan tanah, agar tidak terjadi tumpang tindih lahan. Niat ini didasari kasus sengketa lahan yang berujung pada pembantaian petani di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung.
Wakil Ketua komisi III DPR Aziz Syamsuddin tidak memungkiri jika ada mafia di bidang kehutanan menjadikan wilayah dan perizinan hutan sebagai komoditas. "Ini yang harus dituntaskan. Jika perlu kami adakan moratorium untuk pengadaan lahan dan sebagainya supaya masyarakat tidak tumpang tindih," ujar anggota DPR asal daerah pemilihan Lampung ini.
Menurutnya, masalah tumpang tindih lahan yang banyak terjadi harus diselesaikan Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, dan pemerintah setempat, agar tidak terus-menerus merugikan masyarakat. Bahkan, jika memang masyarakat menempati lahan yang dimiliki perusahaan selama puluhan tahun dan memiliki identitas, harus ada uang kerohiman untuk meminta mereka pergi.
Masyarakat Mesuji sebenarnya sudah beberapa kali melakukan negosiasi dengan perusahaan perkebunan. Tapi belum ada titik temu. Pihaknya akan memakai hasil kajian Komnas HAM mengenai dampak perkebunan dan pertambangan besar terhadap masyarakat sekitar. “Kajian dari Komnas HAM merupakan masukan penting untuk kepentingan rencana itu," tandas dia.(mic/rob)
|