JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Subagyo, mengaku belum mendapat keputusan resmi dari pemerintah terkait perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri Sekertaris Negara (Mensesneg) Pratikno untuk segera mencabut revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
"Kalau soal itu (penarikan revisi UU KPK-red) saya baru mendengar lisan dari pernyataan Menkumham Yasona H Laoly, kalau Presiden Jokowi minta itu segera dicabut. Tapi persoalannya bagi kami selembar surat pun kami belum terima gimana mau mencabut," kata Firman di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (7/7), dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk Revisi UU KPK, bersama pakar tindak pidana pencucian keuangan (TPPU) dari Universitas Trisakti Yenti Garnasih, dan penasihat KPK Abdullah Hehamahua.
Politikus Partai Golkar itu menilai sangat aneh dengan maju mundurnya revisi UU KPK yang dibawa pemerintah. Pasalnya, kata dia, sejak awal Menkumham datang kepada DPR mengusulkan revisi UU KPK atas nama pemerintah, dan kini setelah polemik ini bergulir di masyarakat secara lisan pemerintah minta segera dicabut.
"Ini kan aneh mereka (Menkumham-red) datang ke Baleg mengusulkan revisi UU KPK atas nama pemerintah dan ini ada dalam pidatonya saat mengusulkan revisi ini. Kok tiba-tiba sekarang akan minta dicabut. Tanpa sepucuk surat resmi," tanya Firman heran.
Untuk itu, Firman meminta jika memang pemerintah ingin kembali mencabut revisi UU KPK dari Prolegnas, maka segera membuat surat resmi seperti halnya pertama kali diajukan. Karena, menurutnya, DPR ini bukan seperti pabrik pembuat UU yang seenaknya mengajukan dan mencabut tanpa sebuah administrasi.
"Ini kan harus ada etikanya. Pemerintah harus buat surat administrasinya karena kalau ada apa-apa nanti kami (DPR) kedepan tidak mau disalahkan," ujarnya.
Sementara itu, Yenti Ganarsih menilai revisi UU KPK tidak urgent dan lebih baik mendahulukan revisi UU KUHP dan UU KUHAP. Meski begitu, tidak masalah pula bila UU KPK nanti tidak sejalan dengan UU KUHAP.
"Dalam posisi ini, (revisi UU KPK-red) tidak urgent. Melihat KUHAP dulu. Induknya dulu, kan belum selesai. Kalau KUHAP ada, tidak apa-apa menyimpang dari KUHAP karena ini lex specialis," kata Yenti.
Menurut Yenti, saat ini seharusnya DPR fokus membahas revisi UU KUHP terlebih dahulu. Draf revisi UU KUHP sudah diserahkan ke DPR namun baru akan mulai dibahas di masa sidang V DPR.
"Untuk UU KPK, saya berpikir bahwa UU terkait korupsi itu dengan semua prasarananya hanya akan sukses kalau ada semangat yang sama antara pemerintah dan DPR. Yang penting political will eksekutif dan legislatif," ujarnya.
Menurut Yenti, kewenangan khusus KPK tak boleh diganggu gugat, termasuk penyadapan dan penuntutan. Terkait penyadapan, dia membandingkannya dengan kewenangan di tindak pidana khusus lainnya yaitu narkotika dan terorisme.
"Jangan alergi dengan penyadapan. Seakan-akan hanya KPK yang punya, padahal narkotika, terorisme punya. KY juga punya. Kenapa KPK tak boleh menyadap?" katanya.
KPK yang tidak memiliki SP3 juga karena ada alasan khusus yaitu agar lembaga antikorupsi itu hati-hati. Menurut Yenti, akan lebih bahaya bila KPK memiliki kewenangan SP3.
"Ada kewenangan khusus malah ada SP3, makin liar tidak? Justru itu agar KPK hati-hati. Penetapan tersangka bablas sampai pengadilan. Lebih profesional, lebih hati-hati," ucapnya.(nt/sc/dpr/bh/sya) |