JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pertemuan Conference of Parties/COP ke-17 yang digelar di Durban, Afrika Selatan, dikhawatirkan berakhir buruk. Pasalnya, negara-negara maju dan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, mengusulkan untuk menunda kesepakatan penurunan emisi GRK sampai dengan 2020. Sementara inisiatif Eropa menginginkan sebuah kesepakatan yang komprehensif pada 2015 dan di-implementasikan pada 2020.
Sementara sikap Kanada yang menyatakan akan keluar dari Protokol Kyoto yang secara resmi akan diumumkan bulan depan, semakin menambah runyam putaran perundingan. Setidaknya ada tiga kekahwatiran utama terkait hasil dari pertemuan COP 17 nantinya. Hal itu antara lain, adanya mekanisme pasar yang baru untuk mengakomodir kepentingan industry negara maju, kedua tidak akan ada kesepakatan yang mengikat, dan ketiga rendahnya komitmen untuk menyelamatkan iklim bumi.
Dalam situasi genting seperti ini, seharusnya Indonesia sebagai negara yang digadang-gadangkan sebagai pemimpin penyelamatan iklim, harus mengambil sikap yang jelas dan tegas. Namun, hal tersebut tidak terlihat sama sekali sampai dengan hari kedua perundingan. Walhi menemukan pada delegasi Indonesia masih sibuk mengurusi berkas atau dokumen perundingan yang disinyalir mengalami keterlambatan.
“Selama ini putaran perundingan hanya dijadikan ajang mencari keuntungan bagi Amerika, Jepang, Kanada dan negara maju lainnya untuk terus mengekspansi industri kotor mereka dan perputaran barang dan jasa yang mereka produksi dan tak kalah pentingnya situasi itu juga menguntungkan elite-elite selatan yang korup. Tentu saja hal tersebut harus dilawan, karena bumi bukan komoditi akan tetapi ruang hidup bagi semua makhluk,” kata Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Walhi, Muhammad Teguh Surya, seperti dikutip situs resmi LSM tersebut, Kamis (30/11).
Pertemuan COP 17 harus bisa menghasilkan resolusi iklim yang adil dan proporsional agar bumi bisa diselamatkan. Protokol Kyoto harus diselamatkan, penurunan emisi oleh negara maju harus dilakukan secara domestic dan radikal, sumber pendanaan tidak boleh bersumber dari utang dan pasar karbon serta tidak dibenarkan adanya transfer teknologi kotor (biofuel, nuklir, batu bara dan yang sejenisnya) ke negara berkembang dengan kedok pembangunan bersih. (woi/biz)
|