JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Muhammad Busyro Muqoddas mengatakan, Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty merupakan produk cacat moral.
Busyro menuturkan, jika dilihat secara prosedural, UU Tax Amnesty itu tidak demokratis. Hal ini, terang dia, dilhat dari proses pemutusan, dimana naskah akademiknya tidak diserahkan ke elemen masyarakat madani terlebih dahulu agar dapat dibahas bersama.
Busyro juga menambahkan, jika keputusan yang dilakukan sangat cepat tanpa meminta tanggapan masyarakat, maka UU ini diputuskan sepihak.
"UU Tax Amnesty ini dari aspek proseduralnya secara demokrasi cacat moral," ujar Busyro kepada wartawan saat konferensi pers di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (31/8).
Mantan Ketua KPK ini mengatakan, selain alasan di atas juga, ihwal UU Tax Amnesty ini menyangkut bukan saja terhadap kelompok atau pihak yang bermasalah dengan pajak, namun juga menyangkut usaha masyarakat kelompok menengah, kecil dan mikro.
Busyro mengatakan, pemerintah harus berbesar hati agar UU ini dapat ditunda dulu sambil menunggu laporan keadaan di masyarakat. Sebab, menurut dia, laporan yang didapatkan olehnya adalah masyarakat banyak yang bingung dan resah karena masalah pajak ini.
"Mereka ini sudah dalam keadaan panik, bagaimana langkah yang harus dilakukan dengan harta mereka," kata Busyro.
"Harta yang dimilikinya level masyarakat menengah ke bawah," ucap Busyro lagi.
Keresahan ini, katanya, dapat menimbulkan kegaduhan suasana karena keadilan sosial yang tidak tercapai. Ini, menurut Busyro, keadilan sosial yang dimaksud bukan hanya mengenai problematika ekonomi namun juga menyangkut bathiniah.
Sehingga untuk mengurangi keresahan tersebut, ia memberitahukan, Muhammadiyah akhirnya membahas Tax Amnesty dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah pada Jumat-Ahad, 26-28 Agustus 2016.
Hasil dari Rakernas tersebut adalah akan diadakan rapat pleno oleh PP Muhammadiyah pada 7 September 2016 mendatang untuk menentukan apakah perlu Muhammadiyah mengajukan Judicial Review UU Tax Amnesty kepada Mahkamah Konstitusi.
Kebijakan pengampunan pajak dilakukan dalam bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang. Karena itulah, wajib pajak diwajibkan untuk membayar Uang Tebusan atau Pengampunan Pajak yang diperolehnya.
"Bila Pimpinan sepakat, maka akan diadakan Judicial Review," ujar Busyro.
Tidak sedikit, kata Busyro, pelaku UKM yang dibebani dengan sanksi pengampunan pajak yang besar.
Akibatnya, banyak dari mereka yang resah dan terancam gulung tikar.
"Dalam penerapannya, tax amnesty ini menyasar pelaku UKM, sementara konglomerat besar pengemplang pajak bisa menghindar. Presiden harus berhati besar dan tidak perlu gengsi untuk menunda penerapan UU Tax Amnesty," kata Busyro.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, Presiden Joko Widodo tidak memahami secara detil mengenai UU Tax Ammesty dan penerapannya di lapangan.
Dia menyebut, penerapan UU Tax Amnesty hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
"Saya melihat Presiden jokowi tidak memahami secara detil. Di media dia bilang sasarannya pengusaha besar. Fakta di lapangan yang merasa terancam, yang patut bayar sanksi adalah kelompok usaha kecil menengah," ujar dia.
Selain itu, Dahnil juga menyebut beberapa alasan yang mendasari sikap Muhammadiyah terkait judicial review.
Secara garis besar, dia melihat UU Tax Amnesty mengandung pemufakatan jahat karena ada upaya pengampunan tindak pidana pelanggaran pajak yang dilakukan oleh pengusaha besar.
"Dari proses penyusunan ada itikad tidak baik," kata Dahnil.(Fathurrahman/RA/muhammadiyah/beritanasional/kompas/bh/sya)
|