JAKARTA, Berita HUKUM - PT Blue Bird Taxi diketahui berdiri sejak tahun 1972 hingga saat ini masih tetap berjalan. Setelah 29 tahun kemudian, tiba-tiba ada 2 pemegang saham secara diam-diam mendirikan PT Blue Bird dengan ciri dan cara kerja yang sama dengan PT Blue Bird Taxi. PT Blue Bird (tanpa kata taxi) ini juga diduga kuat menggunakan fasilitas milik PT Blue Bird Taxi.
Atas hal tersebut, beberapa pemegang saham PT Blue Bird Taxi menilai telah terjadi persaingan usaha tidak sehat antara perusahaan tersebut yang diciptakan 2 pemegang saham yang mendirikan perusahaan sempalan bernama PT Blue Bird (tanpa kata taxi).
PT Blue Bird juga dinilai melakukan praktek monopoli karena berdiri sebagai perusahaan didalam perusahaan. Selain itu PT Blue Bird (tanpa kata Taxi-red) dinilai pemegang saham PT Blue Bird Taxi telah melakukan kebohongan publik dengan mempelintir beberapa informasi dalam prospektus penjualan saham yang di kirim ke OJK untuk mendapatkan ijin IPO.
Beberapa pihak termasuk pemegang saham PT Blue Bird Taxi menyayangkan sikap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena dengan mudah mengeluarkan surat pernyataan efektif atau izin penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) kepada PT Blue Bird (Tanpa kata Taxi). Padahal proses hukum gugatan masih berjalan di Pengadilan. PT Blue Bird (Tanpa kata Taxi) yang telah menjual saham ke publik dengan informasi yang diklaim pemegang saham PT Blue Bird Taxi menyesatkan ini dinilai melanggar Pasal 93 UU Pasar Modal. Dimana penjelasan saham tidak boleh dengan keterangan yang tidak benar dan secara sepihak, atau menyesatkan investor.
Menurut Dosen hukum bisnis perbankan Universitas Pelita Harapan, Frans Hendra Winarta, adanya perusahaan didalam perusahaan tidak dibenarkan, karena perusahaan itu ada pemegang saham, jabatan komisaris, dan dewan direksi. “Tidak boleh ada perusahaan didalam perusahaan, jadi ada aturan mainnya,” ujarnya. Kalau perusahaan itu IPO atau listing, sebetulnya tidak bisa masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Sabtu (29/11).
Frans yang merupakan Lawyer bisnis terkemuka mengatakan tidak boleh perusahaan terbuka masuk ke BEI, karena itu harus di register, dan enggak bisa begitu saja langsung masuk ke pasar modal.
“Saya kira pasti ada masalah kalau perusahaan Tbk, yaitu ada perusahaan didalam perusahaan, pasti itu tidak boleh, dan saham perusahaan akan hancur. Apalagi kalau ada gugatan perdata, harus di umumkan dalam laporan tahunan, dan itu akan mengurangi marketability dari saham itu. Ya pasti orang tidak akan mau menanam modal di perusahaan Blue Bird, kalau ada pertikaian didalamnya. Orang kalau mau beli saham atau perusahaan, itu harus di audit. Kalau di audit, ternyata ada sengketa hukum, itu orang akan ragu-ragu investasi di perusahaan tersebut, atau sama sekali tidak mau investasi,” ungkap advokat yang bergelut di bidang bisnis dan arbiter.
Lebih lanjut kata Frans, mana bisa masuk BEI kalau ada sengketa. Mestinya BEI akan melarang kalau perusahaan itu sedang sengketa. Harus bisa di audit dulu, baru bisa di pasarkan. Kalau ada sengketa hukum, enggak bisa di pasarkan sahamnya.
“Kalau memang ada suatu sengketa, harus diselesaikan dulu, jangan di pasarkan, karena ada ketidakpastian hukum. Nanti saham yang di jual tidak sah, gimana?“ imbuh Frans, dengan bertanya.
Untuk diketahui, bahwa praktek monopoli dalam jabatan rangkap tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pada pasal 26. Dalam Undang-undang sudah jelas, disini jabatan rangkap itu satu perusahaan mempunyai dua perusahaan. Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari satu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap jabatan.
“Pada Bab V, posisi dominan pasal 26 UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, tertulis seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris pada suatu perusahaan lain,” kata Ilal Ferhard yang juga sebagai salah satu kuasa hukum pemegang saham Blue Bird.
Apabila perusahaan–perusahaan tersebut berada dalam pasar bersangkutan yang sama, atau memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang, atau jenis usaha secara bersama, dapat menguasai pangsa pasar barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. “Bahwa ada perusahaan dalam perusahaan lain dalam waktu bersamaan, sehingga nama itu hilang,” papar tim kuasa hukumnya.(bhc/sya)
|