SAMARINDA, Berita HUKUM - Pasca berakhirnya kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E 7 P Indonesia (TEPI) mengundang polemik dan perhatian banyak pihak, salah satunya yaitu dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) yang selama ini selalu inten menyoroti Pertambangan yang ada di Kaltim khususnya Samarinda yang banyak berdampak terhadap korban jiwa, mereka juga mengambil sikap tegas terkait pengelolaan Blok Mahakam yang kaya akan gas tersebut.
Kahar Al Bahri Dinamisator Jatam Kaltim kepada BeritaHUKUM.com Rabu (31/10) siang mengatakan, siapapun yang nantinya yang akan mengelolah Blok Mahakam, maka harus memperhatikan ekosistem lingkungannya, karena Blok Mahakam tersebut berada diatas Delta Mahakam yang merupakan ekosistem strategis sehingga jangan sampai mengabaikan ekosistemnya, karena fatal akibatnya jika ekosistemnya tidak terlindungi, "mengabaikan ekosistim berarti mengabaikan kerusakan alam dan ini merupakan suatu kesalahan", ujar Ocah yang panggilan akrabnya Kahar Al Bahri.
"Dari 150.000 hektar luas Mangrove di Delta Mahakam, belakangan in terus menerus mengalami penyusutan menjadi sekitar 30.000 atau berkurang sekitar 80 persen. Selain berubah fungsi, Blok mahakam juga berubah fungsi sebagai tambak, yang salah satunya akibat operasinya Total E 7," kata Ocah.
"Yang menjadi penyebab menurunnya luas Hutan Mangrove di Delta Majakam tersebut adalah, karena ada sekitar 4 hingga 7 ladang migas yang di kelola Total E 7 (TEPI) di Blok Mahakam yang berada di swamp area (rawa), sehingga harus mengorbankan peran ekosistem Delta Mahakam sebagai benteng kehidupan," tegas Ocah.
"Jika ingin melanjutkan kegiatan operasi migas di Blok Mahakam, maka pemerintah harus terlebih dahulu melakukan audit lingkungan hidup di Blok Mahakam tersebut, sehingga perusahaan migas yang meninggalkan blok tersebut dapat meminimalisir dampaknya", pungkas Ocah.(bhc/gaj) |