JAKARTA, Berita HUKUM - Berbagai pihak menuding adanya ketidak beresan terkait mega proyek pembangunan reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta Utara, pasca tim KPK melakukan OTT kepada M Sanusi sebagai Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja yang kini telah ditahan dan dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS), Hardjuno Wiwoho memberikan komentar terkait pro kontra mega proyek reklamasi teluk Jakarta, yang diperkirakan akan menelan biaya sekitar Rp300 triliun, sebagaimana rilis pers yang di terima redaksi di Jakarta, Kamis (7/4).
"Ahok tetap nekad melabrak aturan dengan menerbitkan izin reklamasi melalui Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2238 yang ditetapkan pada tanggal 23 Desember 2014. Izin dikeluarkan dua bulan setelah Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko Widodo yang dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia," urainya.
Ahok dan Pemprov DKI Jakarta berpegangan pada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Padahal kata Hardjuno, keputusan Presiden No 52 tahun 1995 telah di cabut. Pencabutan Keppres 52/1995 bahkan sudah berlangsung puluhan tahun, yakni dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
"Keputusan Presiden No 52 tahun 1995 telah di cabut. Pencabutan Keppres 52/1995 bahkan sudah berlangsung puluhan tahun, yakni dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Perpres 54/2008 ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 12 Agustus 2008." tulis Sekjen HMS, suatu Gerakan yang mempunyai jiwa Pancasila dan semangat Proklamasi untuk mewujudkan Masyarakat Sejahtera menuju Kejayaan Bangsa Indonesia.
Lalu diperkuat lagi dengan Perpres 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 Desember 2012.
Senada dengan Hardjuno, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, Kepres Nomor 52 Tahun 1995 sedianya tidak lagi berlaku karena sudah digantikan dengan peraturan yang lebih baru.
"Kepres yang ada sebelum tahun 2000, sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, sejajar dengan perpres sesudah tahun 2000. Karena kedudukannya sejajar, setelah ada perpres, yang lama dicabut, tidak berlaku lagi," kata Mahfud.
Sementara, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, terkait mega proyek reklamasi ini dinilai janggal. Sebab Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta soal reklamasi telah lebih dulu keluar, padahal hingga kini belum ada peraturan daerah (perda) yang mengaturnya.
Agus Hermanto mengatakan, dalam seluk-beluk kehidupan hendaknya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tata urutan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), peraturan presiden.
Agus menjelaskan, kemudian di bawah Peraturan Presiden adalah peraturan daerah, sementara posisi surat keputusan (SK) gubernur berada di urutan bawah.
"Yang mengerikan, SK ada tapi perda tidak ada," ujarnya, di gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/4).
Menurut dia, hal ini bisa ditengarai berdampak melanggar undang-undang, paling tidak melanggar tata urutan perundang-undangan.
"Lah wong tidak ada perdanya kok ada SK-nya," tegas politikus Partai Demokrat tersebut.
Dia meminta aparat penegak hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum ekonomi, benar-benar turun secara tuntas. Langkah paling tepat terkait reklamasi pantai utara Jakarta yakni menghentikan proyek itu hingga semua peraturan perundang-undangan rampung.
Namun, proyek yang sudah berjalan pun juga harus diperhatikan mengingat potensi pelanggaran perundang-undangan yang dilakukannya.
"SK harus mengacu pada perda. Ini SK siluman dan ditengarai melanggar undang-undang," ujarnya.(rls/qr/bhm/republika/bh/sya)
|