JAKARTA, Berita HUKUM - Bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air awal tahun 2014, mulai dari erupsi Sinabung, banjir Jakarta, banjir bandang Manado, banjir dan longsor di Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan terakhir gempa bumi di Kebumen, diyakini tidak akan memberikan tekanan yang besar pada progress pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
“Walaupun risiko inflasi di bulan Januari relatif tinggi namun tidak mengkhawatirkan mengingat sejumlah antisipasi sudah dilakukan untuk memastikan distribusi barang-brang kebutuhan pokok. Karakteristik bencana juga relatif terisolir di titik-titik tertentu sehingga potensi risikonya juga dapat dimitigasi secara sistematis,”kata Prof.Firmanzah,PhD, Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan dalam perbincangan di Jakarta, Senin (27/1) pagi.
Di samping itu, lanjut Firmanzah, dengan kekuatan kelembagaan penanganan bencana dengan pengalaman sepanajng 10 tahun terakhir, kita optimis bencana awal 2014 tidak akan menekan pertumbuhan dan proses pembangunan yang sedang berjalan.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Indonesia itu, secara historis, Indonesia merupakan salah satu negara yang dalam 10 tahun terakhir terus diperhadapkan pada ujian bencana alam. Sepanjang 2004-2013, kata Firmanzah, merupakan tahun ujian yang cukup berat bagi Indonesia khususnya terkait bencana alam yang terjadi di sejumlah wilayah. Namun demikian, proses pembangunan dan daya dorong pertumbuhan terus menguat.
“Kesigapan dan daya lenting dalam penanggulangan bencana merupakan kunci utama dalam mengatasi persoalan bencana di Indonesia,” ujar Firmanzah.
Ia menguraikan, dari tahun 2004 hingga saat ini sejumlah bencana menghadang proses pembangunan. Tahun 2004 terjadi tsunami Aceh yang menimbulkan kerusakan dan kerugian menurut catatatn Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mencapai Rp 41.4 trilyun. Kemudian 2006, gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menelan kerugian berkisar Rp 29 triliun. Pada 2007, banjir di Jakarta kerugian di kisaran Rp 5,18 triliun dan gempa bumi di Bengkulu dengan kerugian Rp. 1,8 triliun.
Selanjutnya, ungkap Firmanzah, pada 2008, gempa bumi Sumatera Barat menelan kerugian Rp 20,87 triliun. Pada 2010, terjadi erupsi Merapi yang menelan kerugian materil sebesar Rp 3,56 triliun, banjir bandang Wasior dengan kerugian Rp. 281 miliar. Pada 2011, terjadi erupsi dan semburan lahar dingin Merapi dengan kerugian mencapai Rp. 1,6 triliun. Sepanjag 2012, banjir bandang dan puting beliung mendominasi bencana di berbagai titik dengan kerugian sekitar Rp. 30 triliun. Sementara di Jakarta sendiri, banjir terjadi hampir setiap tahunnya dengan intensitas yang berbeda dan termasuk di awal 2014 ini.
“Yang menarik adalah, meskipun sepanjang periode 2004-2013, Indonesia dihadang oleh berbagai bencana alam, namun kinerja perekonomian tetap menguat. Capaian proses pembangunan yang sudah dan sedang berjalan pada periode tersebut telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan bahkan di tengah tekanan global yang terjadi di 2008 dan 2013,” papar Firmanzah.
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan itu lantas menguraikan, pada 2006, Pemerintah Indonesia berhasil melunasi seluruh hutang kepada IMF. Pada 2009, Indonesia bergabung dengan kelompk G20, kelompok negara-negara dengan PDB terbesar di dunia. Saat ini Indonesia menempati peringkat 16 negara dengan PDB terbesar di dunia.
Lalu pada 2011, lanjut Firmanzah, Indonesia masuk dalam kelompok trillion dollar club, yaitu negara yang memiliki PDB (PPP) di atas 1 triliun dollar AS. Selain itu, Firmanzah menyebutkan, sepanjang 2010-2012, sejumlah lembaga pemeringkat internasional menaikan posisi Indonesia ke investment grade zone dengan proyeksi stabil dan positif.
Rasio hutang terhadap PDB, lanjut Firmanzah. dapat ditekan hingga 24 persen tahun 2012 dibanding 56 peren di 2004. Pertumbuhan ekonomi terjaga positif dengan rata-rata 5,9 persen sepanjang 2009-2013. Bahkan pertumbuhan Indonesia merupakan pertumbuhan tercepat kedua (setelah Tiongkok) diantara negara G20.
Cadangan devisa meningkat dari 36 miliar di 2004 dollar AS mendekati angka 100 miliar dollar AS saat ini. Tahun lalu (2013), ketika terjadi gejolak pasar keuangan global, pertumbuhan ekonomi bisa dijaga di level 5,76 persen walaupun relatif melambat dibanding tahun sebelumnya. Sementara realisasi investasi, jelas Firmanzah, tercatat sebesar Rp 398,6 triliun atau lebih tinggi dari target Rp.390 triliun.
Pertumbuhan serapan tenaga kerja mencapai 41,9 % yang menandakan besaran investasi di sektor padat karya.
Firmanzah menegaskan, realitas di atas merupakan potret kelentingan Indonesia dalam penanggulangan bencana selama ini. “Respon cepat dan antisipatif yang dilakukan Pemerintah baik pusat dan daerah telah mengamankan sejumlah proses pembangunan ekonomi yang sedang berjalan,” terangnya.
Menurut Firmanzah, resiliensi ekonomi kita saat ini juga sudah cukup terbukti menghadapi sejumlah ujian dan tantangan baik yang bersifat eksternal maupun internal. Tentunya hal ini merupakan buah kerja keras dari seluruh eleemen bangsa yang diharapkan dapat terus diperkuat di masa-masa mendatang.(es/skb/bhc/rby) |