JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Presiden Boediono mengingatkan para pemimpin daerah dan kota agar lebih memperhatikan keadaan sosial politik, terkait pada usulan percepatan penetapan tata batas kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.
Saat ini banyak konflik lahan terjadi di kawasan hutan yang wilayahnya mencapai 64% dari luas daratan Indonesia. Konflik lahan tersebut lazim terjadi pada sektor pertambangan, perkebunan bahkan pertanian.
Di berbagai sektor tersebut terdapat pula tumpang tindih perizinan, perizinan yang tidak tepat lokasi, penyerobotan lahan dalam kawasan hutan, sampai dengan kesulitan penerapan berbagai usaha dan kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi serta degradasi hutan dan lahan gambut.
Beberapa masalah yang timbul akibat batas kawasan hutan dan batas wilayah administrasi yang belum jelas atau belum ditetapkan secara hukum.
“Tidak hanya teknis, tapi ada masalah sosial dan politik sehingga ada ketidak cocokan antara apa yang disampaikan di atas kertas dan apa yang terealisasi di lapangan. Karenanya kita perlu inisiatif konkrit yang dapat diterapkan di lapangan, misalnya seperti inisiatif usulan mekanisme PPH,” kata Boediono, saat menghadiri pertemuan Pembekalan Instrumen Tata Kelola Keuangan serta Inisiatif Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan Menuju Pembangunan Berkelanjutan dan Berkeadilan, yang diselenggarakan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP), pada Senin (15/9).
Selain pembekalan, para pimpinan daerah dan kota seluruh indonesia akan mendapatkan paparan mengenai kaitan tata kelola keuangan dan tata kelola hutan serta lahan dari Lemhanas, Badan informasi Geospasial, Kemendagri, KPK dan BP REDD+.
Adapun dalam kesempatan yang sama Kepala UKP-PPP, Kuntoro Mangkusubroto, menyatakan soal inefisiensi alokasi anggaran diakibatkan ketidakpastian batas wilayah, sehingga menyulitkan percepatan penerbitan peraturan daerah terkait rencana tata ruang wilayah yang merupakan intrumen kunci dalam pengendalian pembangunan.
“Ketidakpastian batas wilayah serta adanya kantong wilayah tak bertuan penyebab hilangnya potensi pemasukan daerah. Karena cacat hukum berakibat inefisiensi alokasi anggaran,” papar Kuntoro.
Hasil evaluasi Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) Semester I TA 2014 menemukan bahwa, capaian kinerja realisasi belanja K/L sebesar 28% naik 1% dari tahun 2013, namun capaian ini masih di bawah target nasional yaitu sebesar 29%.
Sementara, kinerja realisasi belanja Pemerintah provinsi baru mencapai 23% dari target 31%. Capaian ini masih jauh di bawah kinerja tahun 2013 sebesar 31%. Rendahnya capaian realisasi belanja Pemerintah Provinsi disebabkan salah satu hambatan utamanya tidak terlepas dari minimnya anggaran pendapatan negara, rendahnya capaian Pendapatan Asli daerah (PAD) dan beratnya menariki investasi akibat ketidakpastian berusaha.(bhc/mat)
|