JAKARTA, Berita HUKUM - Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mempertanyakan, selama ini penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan sangat kecil. Padahal, banyak sekali kontrak karya yang diperpanjang. Perlu ada penataan kembali royalti dari sektor pertambangan yang masuk ke kas negara.
Demikian mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Banggar dengan pakar, masing-masing Dr. Ryad Khairil dan Dr. Arif Satria. Rapat dipimpin Ketua Banggar Ahmadi Noor Supit (F-PG), Kamis (21/3). Agenda rapat adalah mendengarkan pendapat pakar mengenai optimalisasi PNBP sektor perikanan, kehutanan, dan pertambangan.
Dari ketiga sektor ini, negara dinilai belum optimal menarik PNBP. Padahal, sumber daya alam kita di tiga sektor tersebut sangat melimpah dan luas. Dr. Ryad Khairil dalam pemaparannya di hadapat para anggota Banggar menjelaskan, perlu ada tata ulang konsesi pertambangan, terutama untuk mineral dan batubaru (minerba). Inventarisasi sumber minerba menjadi kebutuhan urgen agar bisa dilihat seberapa besar penerimaan yang masuk ke kas negara.
Banggar ingin mengetahui lebih detail apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan dari sektor pertambangan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. PNBP dari minerba sebetulnya sudah diatur dalam UU No.20/1997. Menurut Ryad, pengaturan PNBP antara Kementerian ESDM dan Perindustrian masih tumpang tindih.
Ryad mencontohkan, PNBP PT. Krakatau Steel masuk ke perindustrian. Mestinya masuk ke ESDM, karena orientasi pekerjaannya adalah pengolahan. Pada bagian akhir, Ryad menyarankan, untuk optimalisasi PNBP, maka kita harus menyesuaikan besaran royalti kontrak dengan peraturan perundangan. Selain itu, harus pula disosialisasikan dengan tegas aturan royalti bagi izin usaha pertambangan yang diterbitkan, baik di pusat maupun daerah. (mh/dpr/bhc/rby) |