JAKARTA, Berita HUKUM - Penolakan terhadap rencana pemerintah Indonesia pada Mega proyek 'raksasa' pembangunan KAC terus saja muncul dari berbagai pihak, kini juga datang dari Ketua Komisi VI DPR-RI A. Hafisz Tohir yang juga mempertanyakan rencana pemerintah membangun kereta api cepat (KAC) atau high speed railway (HSR) Jakarta-Bandung.
Dia mempermasalahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sampai saat ini tidak melakukan koordinasi dengan Komisi VI. Padahal Komisi VI yang memiliki ruang lingkup dan pasangan kerja dalam bidang industri, perdagangan, saham milik negara, BUMN, investasi dan persaingan usaha.
Mega proyek yang ditargetkan memakan dana dengan total investasi setara dengan IDR 78 triliun ini terselenggara atas persahaman konsorsium BUMN dengan nama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dengan China Railway Internasional.
"Selayaknya kementerian BUMN itu harus berbicara dengan Komisi VI, tapi sampai saat ini belum pernah dilakukan," ujar Hafisz dengan wajah terheran-heran saat acara Diskusi Publik yang bertajuk "Stop Rencana Pembangunan KA Cepat Jakarta-Bandung" di Operation Room (Ruang Kaca) Gedung Nusantara DPR, Senayan, Jakarta pada, Selasa, (2/2).
Menurut anggota Dewan dari politisi Partai Amanat Nasional (PAN) dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I ini, dalam kerjasama antara BUMN dengan perusahaan China terdapat perjanjian internasional, dan sesuai dengan mandat konstitusi, perjanjian tersebut harus ada izin dari DPR-RI, sebagai lembaga legislatif yang mengawasi dan membuat undang-undang.
Hafisz melanjutkan, terlebih lagi, pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung telah menggunakan aset negara. Jalur kereta yang dibangun oleh China Railway Internasional merupakan tanah milik negara. "BUMN harus jadi agen development. Tidak boleh sembarangan BUMN menggunakan aset negara," tegasnya.
Ditengarai bahwa keputusan pembangunan KAC Jakarta-Bandung lebih didominasi oleh keinginan donor, yakni China, bukan atas keputusan Pemerintah RI secara mandiri. Apalagi, proyek KAC tidak masuk dalam prioritas nasional sebagaimana proyek tol laut yang selama ini dikampanyekan oleh Presiden Jokowi.
Hafisz menambahkan, keputusan pembangunan proyek KAC tidak diambil melalui kajian komprehensif yang melibatkan seluruh Kementerian dan lembaga negara terkait, sehingga berbagai persyaratan kelayakan proyek, termasuk perizinan belum diperoleh saat groundbreaking dilaksanakan. "Komisi VI meminta pemerintah mengkaji ulang jika perlu menolak," tegasnya.
Sementara, dalam diskusi tersebut Wakil Ketua DPR-RI Fahri Hamzah juga menyinggung bahwa pembangunan KAC Jakarta-Bandung lebih didominasi oleh pertimbangan aspek bisnis dibandingkan pembangunan yang seharusnya mempertimbangkan aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, lingkungan dan sebagainya.
"BUMN itu tugas utamanya untuk kesejahteraan rakyat, menjadi pipa-pipa kesejahteraan ke rumah rakyat. BUMN bukan sekedar pebisnis. Dia harus menciptakan keuntungan untuk rakyat, menjadi fasilitator kesejahteraan," papar Fahri.
Wakil Ketua DPR-RI Fahri Hamzah mengkritisi rencana pembangunan kereta api cepat (KAC) atau high speed railway (HSR) Jakarta-Bandung. Menurut Fahri pembangunan KAC menunjukkan pemerintah lupa dengan konsep maritim yang telah dikampanyekan saat pemilihan presiden.
Dalam Diskusi Publik yang bertajuk "Stop Rencana Pembangunan KA Cepat Jakarta-Bandung" di Operation Room (Ruang Kaca) Gedung Nusantara DPR, Selasa, (2/2), Legislator dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat ini mengatakan sudah terlalu lama negara terfokus pada pembangunan daratan, dan melupakan pembangunan laut.
Fahri meyakini bahwa saat ini, kebesaran bangsa Indonesia bisa diraih dengan pembangunan sektor laut. "Saya yakin hanya dengan membangun laut dan kelautan kita, bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar," tegasnya disambut tepuk tangan riuh dari para peserta diskusi.
Politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini mengingatkan kembali bahwa prespektif kepemimpinan Jokowi, di dalam fisinya adalah pembangunan poros maritim sebagai prioritas nasional. Namun nyatanya, menurut Fahri, presiden tidak konsisten dengan prinsip yang bermartabat dan dijunjung tinggi ini.
Padahal menurut pengakuan Fahri, kosep poros maritim Pemerintahan Jokowi-JK adalah konsep yang dia kagumi. "Konsep maritim Jokowi adalah konsep yang saya kagumi semenjak kampanye dulu. Saya kagum dengan orang yang meneliti tentang maritim," ungkapnya.
Fahri yang pernah menjadi Ketua Bidang Pembinaan Cendekiawan Muda ICMI tahun (2000-2005) beranggapan, secara konseptual, kultur dan teknis kereta cepat Jakarta-Bandung salah alamat. Bahkan dia mengungkapkan proyek ini tidak relevan dengan konsep bernegara Indonesia yang integral. "Wajar jika kita bertanya kok kita pergi ke gunung katanya poros maritim, kenapa kita mendaki," kritis Fahri.
Fahri melanjutkan, jika pemerintah konsisten dengan konsep poros maritim, maka fokus kerjanya pada pembangunan Indonesia Timur, termasuk juga NTB. Menurutnya di Indonesia Timur masih banyak daerah yang terbelakang dalam segi pembangunan. Dia mendorong pemerintah untuk memperhatikan pembangunan bagian timur Indonesia pada segi ekonomi dan kultur kebudayaan.
"Jadi kalau pemerintah mau membangun tol laut dengan segala sumberdaya alam yang dimiliki, saya bukan hanya mendukung tapi juga terpukau, dan membayangkan hasil-hasil yang luar biasa bagi rakyat-rakyat kita," sergah Fahri.
Dia juga menambahkan seharusnya masyarakat tidak perlu sedih dan kecewa jika mega proyek ini ditunda. Menurut Fahri proyek ini yang bekerjasama antara PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dengan China Railway Internasional punya unsur kapitalis yang tamak.
"Rakus itu bagus kata orang kapitalis, kota tidak pernah tidur, uang tidak pernah tidur, bergegas-gegas dan terburu-buru, tapi kan kultur Indonesia alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat, takkan lari gunung dikejar, itu kultur Indonesia, dan gunung yang dikejar itu namanya Bandung," ujar Fahri.(dpr/eko,mp/bh/sya) |