JAKARTA, Berita HUKUM - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia kembali mengingatkan pemerintah Indonesia terkait dengan pengelolaan utang.
Bahkan ada indikator kerentanan utang 2020 telah melewati batas yang ditetapkan IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional).
Hal ini tertuang dalam Hasil review atas Kesinambungan Fiskal 2020 yang dirilis BPK dalam IHPS Semester I-2021.
"Kesinambungan fiskal merupakan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keuangan negara pada posisi yang kredibel serta dapat memberikan layanan kepada masyarakat dalam jangka panjang, dengan memperhatikan faktor kebijakan belanja dan pendapatan, memperhitungkan biaya pembayaran utang dan faktor sosial-ekonomi serta lingkungan di masa depan," tulis BPK.
Ada beberapa catatan khusus BPK. Misalnya, pemerintah perlu hati-hati dalam mengelola fiskalnya, karena:
* Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara.
* Adanya risiko yang timbul dari kewajiban pemerintah, seperti kewajiban pensiun, kewajiban penjaminan sosial, dan kewajiban kontingensi dari BUMN, serta risiko KPBU.
* Pandemi COVID-19 meningkatkan defisit, utang, dan SiLPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal," terang BPK.
BPK juga merilis indikator kerentanan utang 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR), yaitu:
> Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 - 35%;
> Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 - 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7 - 10%; dan
> Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 - 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90 - 150%.
Sementara, indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27% melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0%.(dru/CNBCIndonesia/bh/sya) |