JAKARTA, Berita HUKUM - Pada Semester II tahun 2014, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa 651 obyek pemeriksaan, terdiri atas 135 obyek pada pemerintah pusat, 479 obyek pemerintah daerah dan BUMD, serta 37 obyek BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaannya, terdiri atas 73 obyek pemeriksaan keuangan, 233 pemeriksaan kinerja dan 345 pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Ketua BPK Harry Azhar Azis di depan Rapat Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, Selasa (7/4) lebih jauh memerinci, dari 651 obyek pemeriksaan tersebut, BPK menemukan sebanyak 7.950 temuan pemeriksaan yang didalamnya terdapat 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilia Rp 40,55 triliun dan 2.482 masalah kelemahan system pengendalian intern (SPI).
Dari ketidakpatuhan tersebut, sebanyak 3.293 masalah berdampak pada pemulihan keuangan negara/daerah/perusahaan atau berdampak finasial senliai Rp 14,74 triliun.
Menurut mantan Pimpinan Banggar DPR tersebut, masalah berdampak financial tersebut terdiri atas masalah yang mengakibatkan kerugian negara Rp 1,42 triliun, potensi kerugian Rp 3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan Rp 9,55 triliun.
Selain itu, terdapat 3.150 masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan ketidakekonomisan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan senilai Rp 25,81 triliun.
Selama proses pemeriksaan, kata Harry, entitas telah menindaklanjuti masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian dan kekurangan penerimaan dengan penyerahan asset atau penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan senilai Rp 461,11 miliar.
Dari pemeriksaan semester II tahun 2014, BPK menemukan masalah yang perlu mendapat perhatian pemerintah pusat, diantaranya persiapan pemeritah pusat belum sepenuhnya efektif untuk mendukung penerapan Ssitem Akutansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual pada 2015.
Kendalanya antara lain, ketentuan turunan Peraturan Menkeu No.213/PMK.05/2013 tentang Sistem Akutansi Pemerintah Pusat dan Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Berbasis Akrual tidak segera ditetapkan. Akibatnya, ujar Harry Azhar, muncul ketidakjelasan dalam menerapkan akutansi berbasis akrual pada satuan kerja pengelola Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, ketidakseragaman penyajian keuangan di kementerian/lembaga dan ketidakhandalan data untuk menyusun laporan keuangan.(mp/dpr/bh/sya) |