JAKARTA, Berita HUKUM - Badan Pemeriksa Keuangan RI telah berhasil menyelesaikan 597 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan 13.969 temuan bernilai Rp56,98 triliun. 597 LHP tersebut terdiri atas 519 objek pemneriksaan keuangan, 9 objek pemeriksaan kinerja dan 69 objek Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).
“Pada semester I Tahun 2013, BPK RI berhasil menyelesaikan 597 LHP. Dari 597 itu memuat 13.969 kasus dengan nilai Rp56,98 triliun,” ungkap Wakil Ketua BPK Hasan Bisri dalam acara Media Workshop “Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester I Tahun 2013” di Auditorium Kantor Pusat BPK RI, Jakarta, Kamis (3/10) lalu.
Wakil Ketua menjelaskan 13.969 kasus tersebut terdiri dari 4.589 kasus senilai Rp10,74 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian dan kekurangan penerimaan. “Jadi kita bagi 3 kelompok yaitu Kerugian; potensi kerugian; dan kekurangan penerimaan, nilainya Rp10,74 triliun,” jelas Hasan Bisri yang didampingi Anggota BPK Sapto Amal Damandari, Sekretaris Jenderal BPK, Hendari Ristriawan serta para pejabat eselon I di lingkungan BPK RI.
Selain itu, sebanyak 5.747 kasus merupakan temuan kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan 2.854 kasus penyimpangan administrasi serta sebanyak 779 kasus senilai Rp46,24 merupakan temuan ketidakhematan, ketidakefisienan, ketidakefektifan.
Dijelaskan, SPI tidak dinilai menggunakan rupiah, karena merupakan temuan mengenai kelemahan SPI yang terjadi di instansi terperiksa. Misalnya, SOP-nya tidak ada, ada perangkapan fungsi, petunjuknya tidak jelas. Hal itu merupakan kelemahan-kelemahan yang tidak dapat dikuantitatifkan dalam bentuk nilai rupiah. Sedangkan untuk ketidakefektifan, dicontohkan, seperti tujuan tidak tercapai, asset sudah dibeli tapi tidak dimanfaatkan.
Pada kesempatan tersebut, Hasan Bisri juga mengungkapkan, selama tahun 2009 s.d. Semester I Tahun 2013, rekomendasi BPK RI telah ditindaklanjuti oleh entitas dengan cara menyerahkan asset atau menyetorkan sejumlah uang ke kas Negara/daerah/perusahaan sebesar Rp15,17 triliun dan khusus semester I tahun 2013 sebesar Rp1,20 triliun. “Jumlah tersebut merupakan betul-betul keuangan Negara yang telah kami selamatkan. Kami berani mengatakan ini, karena kami liat sendiri bukti setornya. Bukan potensi lagi, tapi ini real uang Negara yang kami selamatkan,” tegas Wakil Ketua dihadapan perserta workshop yang merupakan para wartawan media cetak dan elektronik.
Mengenai laporan atau temuan BPK RI yang mengandung unsur pidana, lanjut Hasan Bisri, sejak tahun 2003 s.d. Semester I Tahun 2013, BPK RI telah menyampaikannya kepada aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) sebanyak 425 temuan senilai Rp40,52 triliun. “kenapa menggunakan temuan? Karena dalam setiap satu laporan bisa mengandung 2 atau 3 temuan pidana dan masing-masing berdiri sendiri. Antara lain, 86 temuan masih dalam penyelidikan, penyidikan 32 temuan, 22 temuan dalam proses persidangan dan 88 temuan telah vonis,” rinci Hasan Bisri.
Menjawab salah satu pertanyaan peserta workshop mengenai penyaluran subsidi pemerintah kepada BUMN, Hasan Bisri menyatakan BPK RI setiap tahun memeriksa pembayaran subsidi yang dilakukan pemerintah kepada BUMN-BUMN yang diberi tugas melakukan penyaluran komoditi bersubsidi maupun menyelenggaran program Public service obligation (PSO). Pada pemeriksaan subsidi tahun 2012, BPK RI mengkoreksi subsidi yang semestinya tidak diperhitungkan sebagai subsidi senilai Rp9,03 triliun.
“Ada biaya-biaya yang semestinya tidak dibebankan, tapi dibebankan oleh BUMN yang bersangkutan. Untuk subsidi BBM, BBM subsidi yang dijual kepada sektor-sektor industri yang tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi. Sedangkan untuk subsidi benih dan pupuk yang disalurkan melalui mata rantai yang seharusnya, kepada petani, tetapi dijual, misalnya, ke perkebunan besar,” papar Hasan Bisri.
Selain koreksi perhitungan subsidi, BPK RI juga memeriksa efektifitas subsidi. Tahun 2013 ini, BPK RI menemukan adanya subsidi senilai Rp44,61 triliun yang diberikan kepada golongan tariff pelanggan yang semestinya tidak perlu disubsidi, yaitu golongan menengah, pelanggan besar, pemerintah, dan pelanggan khusus, yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian subsidi.
“Ada sebuah mall yang sangat besar, setiap hari menggunakan pendingin udara dan terang benerang, jika menggunakan listrik PLN artinya mall tersebut disubsidi. Sementara PLN sendiri menggunakan diesel, dieselnya menggunakan solar, solarnya juga disubsidi. Ini yang menurut pandangan BPK RI tidak tepat. Seharusnya pemerintah menentukan level atau segmen yang layak disubsidi. Jika anda dirumah listriknya 2000 watt semua ruangan menggunakan pendingin udara, itu juga disubsidi. Sama dengan yang 450 atau 250 watt di pulau-pulai terpencil di Indonesia. Ini kan tidak fair. Oleh karena itu, menurut BPK RI hal tersebut dinilai tidak efektif,” urai Hasan Bisri.(bpk/bhc/sya)
|