JAKARTA, Berita HUKUM - Guna mengantisipasi melonjaknya laju inflasi pada bulan Juli ini, terkait dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI), Kamis (11/7), memutuskan memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 50 bps menjadi 6,5%, dengan suku bunga Deposit Facility naik 50 bps menjadi 4,75% dan suku bunga Lending Facility tetap pada level 6,75%.
“Kenaikan BI Rate ini Kebijakan ditempuh untuk memastikan inflasi yang meningkat pasca kenaikan harga BBM bersubsidi dapat segera kembali ke dalam lintasan sasarannya,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam konperensi pers di kantor BI, Kamis (11/7) siang.
Dalam siaran persnya Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi A. Johansyah memaparkan, BI mencatat inflasi pada Juni 2013 meningkat cukup tinggi sebesar 1,03% (mtm) atau 5,90% (yoy). “Peningkatan inflasi yang sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia tersebut dipicu kenaikan harga BBM bersubsidi, yang kemudian mendorong kenaikan harga kelompok administered prices dan volatile food. Sementara itu, inflasi inti masih terkendali pada level 3,98% (yoy),” ungkap Difi, Kamis (11/7).
Menurut Difi, Bank Indonesia memperkirakan dampak kenaikan harga BBM bersifat temporer sekitar tiga bulan, dengan puncaknya pada bulan Juli 2013, kemudian menurun pada bulan Agustus 2013 dan kembali pada pola normal pada September 2013.
Ia meyakinkan, Bank Indonesia senantiasa mencermati dan merespon secara terukur tekanan inflasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi, dan bersama dengan Pemerintah terus memperkuat langkah-langkah dalam memitigasi dampak lanjutan kenaikan BBM terhadap inflasi. “Berbagai langkah tersebut diharapkan dapat segera meredam tekanan inflasi sehingga dapat menurun ke dalam kisaran sasaran inflasi 4,5%±1% pada tahun 201,” paparnya.
Selain menaikkan suku bunga, BI juga melakukan bauran kebijakan, dengan melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah yang sesuai kondisi fundamentalnya dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar valas, menyempurnakan ketentuan loan to value ratio sektor properti terkait Kredit Pemilikan Rumah (KPR)/Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) untuk tipe-tipe tertentu, dan memperkuat langkah koordinasi dengan Pemerintah dengan fokus meminimalkan tekanan inflasi serta memelihara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
“Bank Indonesia meyakini bauran kebijakan tersebut cukup memadai untuk mengendalikan tekanan inflasi, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan stabilitas sistem keuangan agar momentum pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga dan bergerak kepada arah yang lebih sehat,” ungkap Difi.
Difi A. Johansyah juga mengemukakan, RDG BI juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2013 pada kisaran 5,8%-6,2%, lebih rendah dari prakiraan sebelumnya 6,2%-6,6%. Rendahnya perkiraan pertumbuhan ekonomi ini ini, di samping karena melambatnya pertumbuhan pada triwulan II dan triwulan III-2013 yaitu masing-masing menjadi 5,9%, juga akibat belum kuatnya ekspor sejalan pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas global yang masih lemah.
“Konsumsi rumah tangga dan investasi diprakirakan juga sedikit tertahan sebagai dampak menurunnya daya beli akibat belum kuatnya permintaan ekspor dan pasca kenaikan harga BBM bersubsidi,” papar Difi, sembari menambahkan pertumbuhan ekonomi diprakirakan kembali meningkat pada triwulan IV-2013 dan berlanjut tahun 2014 yang diprakirakan pada kisaran 6,4%-6,8%.
Mengenai nilai tukar rupiah, menurut Difi, berdasarkan catatan BI pada triwulan II-2013 mengalami depresiasi sesuai dengan nilai fundamentalnya. Secara point to point, nilai tukar rupiah melemah sebesar 2,09% (qtq) menjadi Rp 9.925 per dolar AS, atau secara rata-rata melemah 1,03% (qtq) menjadi Rp9.781 per dolar AS.
Seperti halnya pelemahan mata uang negara-negara di kawasan Asia, menurut Difi, depresiasi nilai tukar rupiah ini terutama dipengaruhi penyesuaian kepemilikan non-residen di aset keuangan domestik dipicu sentimen terkait pengurangan (tapering off) stimulus moneter oleh the Fed. Perkembangan ini mengakibatkan pelemahan rupiah sejalan dengan tren pergerakan mata uang negara-negara di kawasan Asia. Bank Indonesia memandang bahwa perkembangan nilai tukar pada saat ini menggambarkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia.(dkb/skb/bhc/rby) |