JAKARTA, Berita HUKUM - Diskusi persoalan sosial yang mengangkat tema; Cerita Lama Polisi dan Tentara' berlangsung di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/3).
Di picu meledaknya konflik yang telah berulang kali, Kolonel Erry Herman mengajak semua elemen masyarakat, untuk tidak terperangkap dalam prasangka yang menyesatkan.
"Mari kita sama-sama melihat pada konteks yang luas lagi, walaupun di sana sini masih ada kesalahan. Ini adalah satu pembelajaran. Ini adalah salah satu proses harmonisasi menuju hubungan yang lebih baik. Mari kita mencari jalan keluarnya dari pada mencari penyebabnya," kata Erry, Kabid Kerjasama dan Informasi Dephan kepada para Wartawan, Sabtu (9/3).
Menurutnya setiap diri kita terutama TNI dan Polri harus bersikap optimis dengan tugas yang berbeda-beda, TNI mempertahankan kedaulatan negara, Polri menjaga ketertiban umum itu bisa berjalan bersamaan.
Selain itu TNI pun telah menerapkan sistem pendidikan yang humanis, yakni wawasan nusantara. Ada pendidikan awal selama 3 bulan untuk memahami masalah nasionalisme, Bhineka Tunggal Ika.
"Sehingga ketika mereka ditempatkan di daerah, mereka sudah punya bekal yang cukup untuk bertugas disana," terang Erry, dan Ia menambahkan bahwa pendidikan itu, terbagi, ada pendidikan umum yang terkait dengan HAM, Nasionalisme yang sifatnya kekinian, jadi saya rasa pendidikan di TNI sudah mengikuti perkembangan zaman, serta dalam menangani permasalahan kasus itu yang harus diselesaikan dari sumber masalahnya.
Dalam diskusi tersebut Erry menegaskan, tim investigasi akan bergerak cepat dan akan menyelesaikan permasalahan hukum yang ada. Hal tersebut harus diyakini sebagai bagian dari optimisme bersama.
"Sebenarnya kedua aparat negara dimaksudkan untuk kepentingan negara. Menjadi tanggung jawab komandan untuk mengeliminir konflik. Egoisme korps lebih tinggi dari kepentingan negara menyebabkan konflik. Saya rasa kepentingan negara harus diatas kepentingan korps," pungkas Erry.
Sementara itu Kombes Purn Alfons Loemau dari Pengamat Kepolisian mengatakan, bahwa ada kemajuan signifikan. "Tapi yang mengajar di kepolisian ini orang lama. Masalah menyangkut karakteristik daerah tidak terlalu banyak ditanamkan di lembaga ini. Jika terjadi kekerasan maka dianggap solusi yang tepat. Mungkin hari-hari ke depan materikulasi kurikulum menjadi penting, dengan pembekalan supaya mereka mampu secara intelektual dan mental, ini sangat diperlukan," ujar Alfons.
Lanjutnya lagi, bahwa setiap pimpinan di Instansi Polri harus memberi teladan, setiap saat mendengar detak jantung kegiatan anggota, jangan biarkan mereka jalan sendiri. Istilahnya Jangan biarkan anak-anak kita karena kita menjadi kurang terkontrol.
"Jadilah seorang bapak bagi semua kesatuan, maka masalah krusial itu akan bisa diatasi," himbaunya.
Lebih dalam lagi diskusi tersebut menghadirkan. Sosiolog kawakan Prof DR. Thamrin Amal Tomagola yang mengutarakan bahwa, kita memang menegakkan kedaulatan negara di lain pihak Polisi ikut menegakkan kedaulatan rakyat. Polisi memang harus ditaruh di tengah masyarakat bahwa kalau bisa disetiap RW ada 1 polisi.
"Coba petakan peta dari Sabang sampai Marauke lihat konflik Polri dan TNI itu korelasinya sangat signifikan, dimana ada lahan ekonomi yang berlimpah disitu, ada konflik. Kalau masalah sengketa lahan itu tidak diselesaikan akan terus berlanjut," kata Thamrin.
"Sumsel itu konflik agraria tinggi, dimana perebutan Sumber Daya Alam sangat tinggi disitu, Polisi dan Tentara semuanya tergiur dengan uang yang berlimpah. Biasanya Polisi dapat uang keamanan dari masyarakat. Nah, disitu Undang-Undang dilanggar, tidak lagi melindungi kedaulatan rakyat tapi melindungi modal," urai Thamrin.
Dalam hal ini Thamrin memberikan solusi terkait lahan ekonomi, yakni jelas menindak personil yang terlibat dan membenahi lahan-lahan ekonomi tersebut. Presiden harus tegas, TNI menyangkut kedaulatan negara, Polri kedaulatan rakyat tinggal di tengah masyarakat bukan di jalan tol, bukan di mall. "Kalau itu sudah ditegaskan oleh Presiden saya rasa bisa dicarikan solusi," tutur Thamrin.(bhc/mdb) |