LHOKSEUMAWE, Berita HUKUM - Akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Amrijal J Prang menyebutkan, bahwa Aceh boleh membentuk Qanun Bendera dan Lambang sebagai simbol Aceh, hal ini sesuai aturan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 246, Sabtu (30/3).
Yang menjadi persoalan sekarang menurutnya, ialah dilihat dari sisi yuridis materilnya dan subtansinya bahwa bendera ini bukan merupakan simbol kedaulatan Aceh. Namun bendera ini hanya sebagai simbol ke-istimewaan atau kekhususan Aceh saja seperti di daerah lainnya yang ada di Indonesia.
"Bendera dan lambang ini hanya sebagai identitas Aceh, dan tetap dalam bingkai NKRI," ujarnya.
Berbicara tentang peraturan perundang-undangan musti dilihat dalam penyusunannya dari beberapa landasan. Dijelaskannya, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridisnya. Namun khusus dalam konteks yuridis ada dua konteks, berdasarkan landasan formil dan yuridis materilnya bahwa tidak diharuskan qanun Bendera dan Lambang itu ada.
Kemudian jika mengacu kepada peraturan pemerintah, menjelaskan bahwa suatu peraturan daerah tidak boleh lebih tinggi dari Undang-Undang pemerintah. Selain itu juga berdasarkan MoU Helsinky juga telah ditetapkan bahwa Aceh tidak boleh membuat lambang dan bendera dibuat dalam bentuk simbol yang berbau gerakan terlarang ataupun separatis.
Aturan ini sesuai seperti yang tertuang dalam pasal 235 UUPA, bahwa pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan kepentingan umum, antar qanun, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, jelas Amrijal
Menanggapi hal ini Amrijal berpendapat, regulasi yang telah disahkan oleh DPRA tidak berbau separatis maupun gerakan apapun lainya, karena pemerintah Aceh menganggap pasca lahirnya MoU disebutkan GAM sudah tidak ada lagi. Sehingga pemerintah pusat diharapkan bisa memakluminya, karena Aceh sudah menjadi suatu daerah yang memiliki kekhususan daripada daerah lainnya.
Kendatipun demikian, pemerintah Aceh juga harus melakukan pendekatan dan menjaring seluruh elemen masyarakat agar tidak terjadi kontroversi dari berbagai pihak, selain itu juga agar qanun ini tidak mendapat penolakan dari pemerintah pusat.
"Lakukanlah pendekatan kepada pemerintah pusat untuk merasionalisasikan bahwa simbol yang disahkan oleh DPRA bukan atas kepentingan kelompok saja melainkan berdasarkan aspirasi rakyat," katanya
Dosen Unimal menambahkan, qanun bendera dan lambang itu penting, tapi yang paling terpenting saat ini dilakukan oleh pemerintah Aceh ialah menciptakan kesejahteraan, serta perekonomian rakyat yang merata.(bhc/sul) |