JAKARTA, Berita HUKUM - Upaya Kejaksaan Agung memidanakan PT Indosat Tbk dan PT Indosat Mega Media (IM2) dalam dugaan korupsi penyalahgunaan frekuensi 2.1 Ghz milik Indosat menuai pandangan berbeda dari akademisi. Di sebuah acara diskusi, Guru Besar FH UI Erman Radjagukguk berpendapat kasus Indosat bukanlah tindak pidana.
Selain itu, perbuatan Indosat dan IM2 tidak dapat diklasifikasikan sebagai korupsi korporasi karena pengambilan kebijakan dilakukan oleh individu, dalam hal ini direksi. Erman menjelaskan, suatu korporasi dapat dianggap melakukan tindak pidana apabila kebijakan tersebut diambil bersama atas nama perusahaan.
“Umpamanya, dalam pengambilan kebijakan, direksi, dewan komisaris, bahkan di RUPS menyepakati supaya tidak usah bayar pajak, korporasi harus dipidana. Ini adalah corporate crime. Lalu apakah orang-orangnya juga dianggap bersalah? Ini yang masih debatable karena keputusan diambil bersama,” katanya, Rabu (20/2).
Sementara, lanjut Erman, jika kebijakan hanya diambil seorang Direktur Utama tanpa persetujuan direksi lain, dewan komisaris, bahkan RUPS, padahal anggaran dasar perusahaan mewajibkan, perbuatan itu bukan merupakan tanggung jawab korporasi. Perusahaan dapat menggugat apabila merasa dirugikan.
Namun, Erman jarang melihat perusahaan, apalagi BUMN menggugat direksinya meski merasa telah dirugikan. “Pemegang saham 10 persen saja bisa menggugat, apalagi BUMN yang memegang saham 100 persen. Harusnya digugat dong. Tapi tidak pernah negara menggugat direksinya meski sudah merugi,” ujarnya.
Guru Besar FH Unair Tatiek Sri Djatmiati punya pandangan senada. Menurutnya, pendekatan administrative penal law lebih tepat digunakan untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan korporasi. Tidak semua perbuatan yang merugikan negara harus ditarik ke ranah korupsi, seperti kasus tindak pidana lingkungan.
Dalam Pasal 78 UU Lingkungan Hidup diatur mengenai ketentuan pidana, sedangkan Pasal 80 mengatur tentang kerugian negara. Sama halnya dengan ketentuan tindak pidana lain yang sudah diatur secara lex specialis dalam undang-undang tertentu. Tatiek berpandangan, UU Pemberantasan Tipikor tidak harus selalu diutamakan.
“Jadi, kalau ada kerugian negara, ini ada pidana administratif. Ada kerugian negara, ada sanksi administratif yang harus dibayar korporasi. Ini sudah jelas. Makanya, kalau selalu mengutamakan korupsi, saya takut itu akan bertentangan dengan referensi hukum lex specialis dan bertentangan dengan azas kepastian hukum,” tuturnya, seperti yang dikutip dari hukumonline.com, pada Kamis (21/2).
Apabila mengacu keterangan Tatiek, dalam Pasal 15 UU Telekomunikasi memang diatur mengenai tuntutan ganti rugi yang dapat dikenakan kepada penyelenggara telekomunikasi. Tuntutan ganti rugi ini diatur lebih rinci dalam Pasal 68 dan Pasal 69 PP No.52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Pasal 68 ayat (1) UU Telekomunikasi menyatakan, atas kerugian akibat kesalahan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi, pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan ganti rugi. Kemudian, Pasal 69 ayat (1) mengatur, penyelesaian ganti rugi dapat dilaksanakan melalui proses pengadilan atau di luar pengadilan.
Hal ini ditanggapi salah seorang peserta diskusi, anggota BRTI Nonot Harsono. Dia menilai, seharusnya penggunaan jaringan radio dipisahkan dengan penggunaan frekuensi. Manakala dianggap telah terjadi tindak pidana telekomunikasi, sesuai Pasal 43 UU Telekomunikasi yang berhak menyidik adalah Polri dan PPNS Kominfo.
“Karena menggunakan UU Tipikor, terjadi beberapa kerancuan. Kalau dibilang menggunakan frekuensi memang terbukti benar, ya tinggal ditagih untuk membayar (Biaya Hak Penggunaan BHP). Bilang saja, kalau anda menggunakan frekuensi tidak membayar nanti akan dicabut. Pasti besoknya dibayar,” terangnya.
Perwakilan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono yang menjadi pembicara dalam diskusi itu tidak mau menanggapi lebih jauh mengenai kasus Indosat dan IM2. Dia mengatakan, perkara Indosat sedang berjalan di pengadilan dan penyidikan, sehingga tidak etis membicarakan di luar pengadilan.
Koordinator TPPU pada Jampidsus ini tidak mau ada ‘persidangan’ di luar pengadilan. Namun, yang pasti majelis hakim Pengadilan Tipikor untuk perkara mantan Direktur Utama IM2 Indar Atmanto telah menolak eksepsi terdakwa. Dalam putusan sela, majelis menyatakan perkara itu dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara.
Sama halnya dengan Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja. Selaku hakim, dia tidak ingin ada intervensi atau pembentukan opini publik dalam perkara Indosat dan IM2. “Perkaranya sedang berjalan, saya tidak akan memberikan komentar. Silakan berjalan bagaimana seharusnya, kita ingin penegakan hukum yang berkualitas,” tandasnya.(hom/bhc/rby) |