JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan - Perkara Nomor 95/PUU-XI/2014 pada Rabu (3/12) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, serta beberapa Saksi Pemohon.
Maruarar Siahaan, ahli yang diajukan oleh Pemohon, menerangkan, Pasal 15 UU No. 18/2013 menyebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan bukan bentuk final dari rangkaian proses penetapan kawasan hutan.
“Dengan ketentuan demikian, harus memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau ulayat pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sehingga jika hal demikian terjadi, maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus memperhitungkan dan mengeluarkan dari kawasan hutan tersebut agar tidak merugikan masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan,” papar Maruarar Siahaan.
Dijelaskan Maruarar, ketidaktaatan akan arah yang telah dirumuskan dalam politik hukum yang harus ditempuh, baik karena kesengajaan maupun kelalaian menyebabkan produk hukum yang dihasilkan tidak bergerak ke arah used constituendum yang diinginkan dan tidak memenuhi harapan untuk mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan dalam konstitusi.
“Seharusnya kajian yang dilakukan dalam naskah akademik yang bersangkutan dengan undang-undang yang diuji telah dapat menginventarisasi seluruh ketentuan undang-undang, putusan MK, dan norma konstitusi yang terkait dengan undang-undang yang akan diperbarui atau diubah,” ucap Maruarar.
Maruarar yang juga mantan hakim konstitusi ini melanjutkan, keberadaan norma-norma dalam UU No. 18/2013 yang mengabaikan legal policy yang sepatutnya dikenali dalam UUD 1945 dan Putusan MK No. 45 Tahun 2011 serta Putusan MK No. 35 Tahun 2012.
“Khususnya kawasan hutan yang ditunjuk dengan implikasi luas atas kepentingan hukum rakyat yang secara sah berkenaan dengan kawasan hutan tersebut. Identifikasi regulasi yang saling berkaitan untuk diperhadapkan dengan politik hukum dalam konstitusi dan putusan-putusan MK menjadi keharusan,” ungkap Maruarar.
“Bukan hanya disebabkan karena kebutuhan untuk melakukan penyelarasan norma, tetapi terlebih lagi merupakan bagian dari konstitusionalisme yang telah menggariskan batas atau constitutional boundary bagi pembuat undang-undang,” tambah Maruarar.
Kategori Penguasaan Hutan
Sementara itu Saksi Pemohon, tokoh adat Manggarai, Nusa Tenggara Timur Yoseph Danur menjelaskan bahwa sejak dulu di daerah Manggarai terdapat dua kategori penguasaan hutan. Pertama, penguasaan yang dimiliki oleh adat, termasuk dengan wilayah hutannya. Sementara yang kedua adalah penguasaan perorangan dengan penanda batas-batas hak kelola yang ditetapkan oleh nenek moyang dengan sebutan tanda-tanda alam. Namun meskipun diberikan hak pengelolaan, masyarakat dilarang untuk menebang hutan.
“Tapi di wilayah kelola, dibuka pemukiman atau kebun-kebun yang disebut lingko. Sampai sekarang lingko masih ada, termasuk wilayah hutannya,” kata Yoseph.
Akan tetapi pada masa pemerintahan Belanda, lanjut Yoseph, ditetapkan tapal batas hutan di Manggarai. “Tapal batas ini menurut pengakuan orang tua, ditetapkan secara sepihak di kebun-kebun masyarakat adat. Bahkan kampung adat masuk ke dalam kawasan hutan,” tambah Yoseph.
Sedangkan Saksi Pemohon lainnya, Datuk Suganda menjelaskan bahwa pada 1935 Belanda mengusir masyarakat adat yang tinggal di wilayah Selesek, Nusa Tenggara Timur sehingga masyarakat tersebut dipindahkan Desa Lawin. “Maka dari desa itu mereka tetap mencari nafkah ke wilayah Selesek tadi,” imbuh Suganda.
Ditambahkan Suganda, pada 2011 masyarakat adat tidak boleh lagi mengadakan kegiatan di wilayah tersebut karena dari pihak kehutanan atau pemerintah melarang keras mereka tidak boleh lagi masyarakat adat beraktivitas di wilayah itu karena sudah menjadi hutan lindung.(mk/Nano Tresna Arfana/bhc/sya) |