JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang Pengujian Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) kembali digelar untuk ketujuh kalinya pada Kamis (15/1) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Kali Pemohon kembali menghadirkan dua orang ahli. Pakar Hukum Agraria dari Universitas Andalas, Kurnia Warman yang menjadi ahli Pemohon menegaskan penyelenggaraan pemerintahan negara tidak boleh menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah dan kekayaan alam. Sementara itu ahli Pemohon lainnya yakni Rikardo Simarmata mengatakan UU P3H menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Warman mengatakan dengan UU P3H negara dalam beberapa hal telah terbukti merampas hak ulayat masyarakat hukum adat, termasuk hak atas hutan adatnya. Bahkan menurut Warman, UU P3H telah mengriminalisasi masyarakat adat di wilayah adat mereka.
Padahal sejak tahun 1999 berkat reformasi telah muncul pengakuan dan penghormatan negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya secara konstitusional. Pengakuan dan penghormatan tersebut dicantumkan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945, negara mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat dalam konteks pembentukkan pemerintahan daerah yang dicantumkan dalam Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Menurut Warman, pasal tersebut mengandung pesan bahwa jika negara membentuk pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintahan negara Republik Indonesia, maka keberadaan masyarakat hukum adat harus menjadi pertimbangan serius. Jangan sampai, pembentukkan pemerintah daerah termasuk pemerintah desa justru mengancam keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.
“Dalam konteks inilah sebaiknya pembentukkan pemerintah desa mempertimbangkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti nagari di Sumatera Barat dimana saya lahir, marga di Sumatera Selatan, mukim di Aceh, desa di Jawa, Bali, dan Madura, Lembang di Tanah Toraja, dan lain-lain sebagainya,” jelas Warman.
Terlebih, sebagian masyarakat adat tersebut seperti mukim di Aceh, nagari di Sumatera Barat, dan Lembang di Tanah Toraja sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing sebagai penyelenggara pemerintahan terendah (village government). Keberadaan masyarakat adat tersebut menurut Warman juga telah memenuhi syarat yuridis atau telah memenuhi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon di Mahkamah Konstitusi.
Dengan diakuinya eksistensi masyarakat hukum adat tersebut, Warman menegaskan bahwa seharusnya penyelenggaraan pemerintahan negara dalam berbagai urusan seperti bidang pertanahan, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan tidak boleh menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah dan kekayaan alam meliputinya. Sudah jelas bahwa bila suatu undang-undang dalam penyelenggaraan negara menghapus keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam pengelolaan tanah dan kekayaan tersebut telah bertentangan dengan konstitusi.
Pelanggaran terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat itulah yang tengah terjadi dengan adanya ketentuan Pasal 11 ayat (4) UU P3H. Pasal tersebut menyatakan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Warman, ketentuan tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, dalam pelaksanaan hak ulayat pengambilan hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu dalam wilayah adat merupakan kebutuhan sehari-hari untuk keluarganya. Hal itu merupakan bentuk hak internal yang melekat pada setiap anggota masyarakat hukum adat. Sebab, pada prinsipnya, pemanfaatan tanah dan kekayaan alam di dalam wilayah adat dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat hukum adat, bukan untuk dikomersilkan.
Kriminalisasi Masyarakat Adat
Sementara itu, Rikardo Simarmata selaku praktisi hukum agraria yang juga didaulat menjadi ahli oleh Pemohon menjelaskan UU P3H menimbulkan kriminalisasi kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Kriminalisasi tersebut dapat terjadi karena konsep politik kehutanan yang didasarkan pada semangat untuk mengontrol kawasan hutan, bukan semangat untuk menghormati dan melindungi komunitas-komunitas lokal yang jauh sebelumnya sudah mempratikkan penguasaan dan pengelolaan hutan disatu kawasan.
Konsep tersebut diaplikasikan tanpa banya menggunakan data-data faktual di lapangan. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan juga terjadi akibat konsep politik kehutanan yang orientasinya hak menguasai Negara. Konsep tersebut dipakai dalam UU Kehutanan yang dipakai untuk memberikan legetimasi pemerintah dalam menetapkan kawasan hutan atau mengukuhkan kawasan hutan.
Kriminalisasi tersebut tentu saja membawa dampak kepada masyarakat hukum adat yang selama ini mengakses hutan. Akibat negara mengukuhkan kawasan hutan sebagai wilayah yuridiskinya maka otomatis berlaku pula hukum Negara di kawasan hutan dimaksud. Implikasinya, perbuatan-perbuatan menguasai dan memanfaatkan hutan di kawasan hutan yang dikuasai negara akan dianggap ilegal. Sebab UU Kehutanan sudah menegaskan seluruh kegiatan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan harus seizin pejabat yang berwenang.
“Pemerintah bisa menindak masyarakat lokal, masyarakat adat yang melakukan pemanfaatan kawasan hutan tanpa seizin pejabat yang berwenang. Implikasi dari pengukuhan kawasan hutan adalah pemberlakuan otoritas tata hukum negara di atas kawasan tersebut. Implikasi berikutnya atas pemberlakuan otoritas atau hukum negara adalah masyarakat adat, masyarakat lokal yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan ilegal. Kalau dia dikatakan sebagai ilegal, maka tindakan hukum untuk mengkriminalisasi masyarakat lokal tersebut itu bisa dilakukan,” ungkap Rikardo.(YustiNurulAgustin/mk/bhc/sya) |