JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan atau RPP Tembakau dipastikan mulai berlaku pada akhir Desember 2013. Rancangan ini dinilai Menkokesra, Agung Laksono, tidak menguntungkan dan tidak merugikan pihak-pihak tertentu. "Ini bersifat equal. Sama-sama menguntungkan," tegasnya, Selasa (6/3), di Jakarta.
Menurut Agung, RPP ini tidak mengatur larangan merokok atau mematikan industri rokok maupun membuat buruh rokok kehilangan pekerjaan. “RPP hanya mengatur soal kesehatan. Yaitu dampak rokok bagi kesehatan, menyebarluaskan peringatan bahaya merokok, serta mencegah dan mengurangi bahaya merokok. "Jadi tidak ada larangan mengisap rokok. Itu terserah pada masyarakat. RPP ini mengingatkan saja. Tidak ada yang dirugikan," imbuh Agung menambahkan.
Dalam RPP itu juga diatur ukuran peringatan bahaya merokok 40 persen dari size kemasan rokok. Iklan media di luar ruang maksimal 6m x 12m. Jadi, masalah iklan tidak perlu dipersoalkan lagi karena bentuk perlindungan kesehatan masyarakat. Bagaimana pun, konsumsi produk tembakau harus dibatasi dan diawasi.
Agung mengakui pengesahan RPP ini agak tersendat dengan pertimbangan tidak merugikan pihak-pihak tertentu. Apalagi Ini menyangkut sekitar dua juta petani yang langsung dan enam jutaan lainnya yang terlibat tidak langsung.
RPP Tembakau Sempat Hasilkan Polemik
Polemik bermula ketika Pemerintah dan DPR sepakat dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pembahasan itu pun dibawa ke Kemenkumham untuk diformalkan jelang akhir tahun lalu.
Pemerintah berharap peraturan, khususnya dapat melindungi anak-anak usia sekolah dari kecanduan merokok. Hanya saja rancangan yang telah disetujui mendapat penentangan dari ribuan petani tembakau menjelang tutup tahun 2011. Khususnya gabungan Petani dari Temanggung, Magelang, Wonosobo, Kebumen dan Purworejo
Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dinilai merupakan salah satu pasal yang musti direvisi. Sebab, secara tak langsung isi ayat (2) memojokkan tembakau. Sedangkan pasal ini pun turut menjadi acuan Pemerintah guna menyusun RPP tembakau.
Para petani tembakau mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-undang Kesehatan, yang dinilai telah mengkhianati dan menindas mereka, yang berdampak mematikan usaha pendapatan melalui bisnis tembakau.
Untuk diketahui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan cukai pada tahun depan sebesar Rp. 72,44 triliun atau naik 6,4 persen dibandingkan target APBN-Perubahan 2011. Sedangkan dari penerimaan sebesar itu, cukai rokok menyumbang penerimaan sebesar Rp. 69,04 triliun. (boy)
|