Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Legislatif    
Hutang Luar Negeri
Agresivitas Pemerintah Indonesia dalam Berutang Harus Dikontrol
2018-01-05 06:29:47
 

Plt. Ketua DPR RI Fadli Zon.(Foto: arief/afr)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah Indonesia baru saja melakukan tutup buku laporan kinerja tahun 2017. Plt. Ketua DPR RI Fadli Zon pun memberikan sejumlah catatan yang diberikan oleh atas laporan kinerja pemerintah tersebut. Terutama tentang risiko atas terus meningkatnya jumlah utang Indonesia. Fadli menghimbau agar agresivitas pemerintah dalam berutang harus dikontrol.

Fadli menyampaikan sebagai sebuah gambaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya sekitar 5 persen, namun pertumbuhan utangnya mencapai 13 hingga 14 persen per tahun. Menurut laporan pemerintah, realisasi defisit tahun 2017 tercatat Rp 345,8 triliun. Secara nominal, realisasi defisit tersebut memang lebih rendah ketimbang realisasi defisit tahun 2016, yang mencapai Rp 367,7 triliun.

"Namun, meskipun secara nominal jumlahnya turun, namun persentasenya terhadap PDB justru meningkat. Tahun 2016, rasio defisit APBN-P terhadap PDB mencapai 2,46 persen. Tahun 2017, angkanya naik menjadi 2,57 persen terhadap PDB," ucap Fadli dalam rilis yang diterima Parlementaria, Kamis (4/1).

Fadli mengatakan, selama pemerintahan Jokowi, rasio defisit memang cenderung terus membesar. Pada 2014, defisit masih berada di angka Rp 227,4 triliun, atau 2,26 persen terhadap PDB. Tahun berikutnya, 2015, defisit melonjak menjadi Rp 318,5 triliun, atau mencapai 2,8 persen terhadap PDB. Antara 2015 ke 2016 persentasenya memang sempat turun, namun sebagaimana yang kita lihat, realisasi defisit tahun 2017 kembali meningkat.

"Kenapa kita harus memperhatikan soal defisit anggaran ini, selain karena ketentuan mengenai hal itu telah diatur tegas oleh UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, juga karena pemerintah selama ini selalu menutup defisit dengan menciptakan utang baru, poin yang juga diatur tegas oleh UU yang sama," ungkap politisi F-Gerindra itu.

Jika diperhatikan, tambah Fadli, sekitar 75 hingga 80 persen pembiayaan defisit APBN memang ditutup oleh utang, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, sambung Fadli. Menurutnya, hal itulah yang harus diwaspadai, karena berdasarkan pengamatannya, pemerintah terlalu menggampangkan persoalan jika membahas masalah utang ini.

"Selama ini pemerintah selalu berdalih jika rasio utang kita masih dalam batas aman, karena masih di bawah angka 60 persen terhadap PDB sebagaimana yang dipatok UU. Menteri Keuangan, misalnya, pernah membandingkan rasio utang kita saat ini dengan tahun 2004, saat rasio utang kita mencapai 50 persen terhadap PDB," ujarnya.

Fadli menyatakan, pemerintah juga selalu membandingkan rasio utang Indonesia yang masih lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 56,22 persen PDB, Amerika Serikat yang mencapai 107 persen PDB, ataupun Jepang yang bahkan mencapai 239,27 persen PDB. Pembandingan semacam itu dianggapnya keliru, karena tidak memperhatikan kemampuan bayar yang berbeda-beda dari negara-negara tadi.

"Setiap negara memang berbeda kasusnya. Belajar dari krisis utang Eropa, rasio utang sebenarnya bukan merupakan indikator yang pas untuk mengukur kemampuan sebenarnya dari perekonomian sebuah negara. Rasio utang kita yang lebih kecil tak menggambarkan perekonomian yang lebih hebat atau sejenisnya, sehingga kita harus berhati-hati," jelas politisi asal dapil Jawa Barat itu.

Sementara, pembangunan yang bergantung utang tentu tak sesuai dengan semangat Trisakti. Salah satu doktrin Trisakti Bung Karno yang selalu dikutip pemerintah adalah berdikari secara ekonomi. Plt. Ketua DPR RI Fadli Zon pun mempertanyakan, bagaimana mandiri secara ekonomi bisa tercapai, kalau utang membuat Indonesia semakin bergantung dan terjerat. Fadli menegaskan, utang luar negeri bisa juga dilihat sebagai bahaya imperialisme.

"Pada tahun 2014, posisi utang kita masih di angka Rp 2.604,93 triliun. Akhir 2017, jumlah utang kita telah berada di angka Rp 3.928,7 triliun. Jadi, selama tiga tahun pemerintahan Pak Jokowi, utang kita telah bertambah Rp 1.324 triliun. Jika dihitung dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp 12.407 triliun, maka rasio utang pemerintah pusat hingga November 2017 ini sekitar 28,9 persen dari PDB," papar Fadli Zon..

Menurutnya, pemerintah harus mengurangi agresivitas dalam berutang. Ukuran yang sehat untuk menilai normalitas utang bukanlah rasionya terhadap PDB, tapi bagaimana kemampuan kita dalam membayar, serta apa dampak utang bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan membayar utang bisa dilihat dari angka keseimbangan primer. Dalam buku teks ekonomi, keseimbangan primer adalah jumlah pendapatan negara dikurangi jumlah pengeluaran negara di luar pembayaran cicilan utang.

"Jika keseimbangan primer negatif, bisa dipastikan bahwa pemerintah harus membayar cicilan utang dengan menarik utang baru. Sepanjang tiga tahun pemerintahan Jokowi, keseimbangan primer kita selalu defisit. Padahal, pada periode 2004 hingga 2011, keseimbangan primer kita sebenarnya selalu surplus," tutur politisi F-Gerindra itu.

Selain mengabaikan kemampuan bayar, Fadli menilai pemerintah juga sepertinya mengabaikan soal waktu jatuh tempo (debt maturity) yang sebenarnya makin menekan Indonesia. Pada tahun 2015, pembayaran kewajiban utang Pemerintah mencapai Rp 155 triliun, lalu Pada tahun 2016 dan 2017, angkanya berubah menjadi Rp 191,2 triliun dan Rp 219 triliun. Menurut Kementerian Keuangan, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun, dan pada tahun 2019 angkanya menyentuh Rp 420 triliun.

"Besar sekali angkanya. Bukti bahwa pembayaran utang beserta bunganya ini telah menekan APBN kita bisa dilihat pada tahun 2017 kemarin, dimana untuk pertama kalinya dalam sejarah belanja subsidi pemerintah lebih kecil jika dibandingkan pembayaran kewajiban utang pada tahun yang sama. Ini menurut saya sangat ironis," tegas Fadli.

Fadli menilai, pemerintah cenderung menerapkan strategi 'front loading' dalam berutang, alias berutang banyak lebih dulu meskipun kebutuhannya belum didefinisikan. Cara ini dianggap pemerintah lebih murah untuk mendapatkan 'cash flow'. Namun, risikonya pertumbuhan jumlah utang kita jadi mengalami akselerasi.

"Ke depan, kita harus mengontrol perilaku pemerintah dalam berutang ini. Itu sebabnya saya sering mengatakan hanya program yang berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat saja yang mestinya jadi prioritas pemerintah. Anggaran infrastruktur yang tidak perlu sebaiknya segera direvisi. Jangan sampai anggaran publik kita ke depannya digerogoti untuk membayar utang, bukannya untuk meningkatkan ekonomi rakyat," pungkas politisi asal dapil Jawa Barat itu.(dep,sf/sc/DPR/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Hutang Luar Negeri
 
  Pemerintah Tarik Utang Rp 85,9 Triliun Lebih Awal untuk Biayai Anggaran 2025
  Muslim Ayub: Prabowo Subianto Akan Dilantik Sebagai Presiden RI Semoga Bisa Perkecil Hutang Pemerintah
  Sri Mulyani: Pinjaman Luar Negeri Kementerian Prabowo Tembus Rp385 Triliun
  Wakil Ketua MPR : Fokus mengelola utang, bukan membandingkan dengan negara maju
  Utang Negara Menggunung, Prof Didik Rachbini: 82 Parlemen Dikuasai dan Takut Mengontrol Pemerintah
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2