SUMBER GAMBAR,REUTERS
Keterangan gambar,
Para mediator dari Qatar berusaha untuk menjembatani kesepakan damai antara bekas pemerintah Afghanistan dan Taliban.
Bagi Qatar dan Turki, jalinan dengan Taliban dilakukan dengan cara yang berbeda.
Saat pemerintahan Presiden Barack Obama berusaha untuk mengakhiri perang, Qatar menjadi tuan rumah bagi para pemimpin Taliban untuk mendiskusikan upaya damai dari tahun 2011.
Ini telah menjadi proses yang kontroversial dan berubah-ubah. Pengibaran bendera Taliban di pinggiran kota Doha membuat banyak orang tersinggung (mereka memendekkan tiang bendera setelah diminta Amerika).
Bagi Qatar, ini membantu membangun ambisi tiga dekade atas kebijakan luar negeri yang otonom - Di mana hal ini dianggap penting bagi negara yang berada di antara kutub Iran dan Arab Saudi.
Pertemuan di Doha mengalami puncaknya akhir tahun lalu dalam kesepakatan di bawah Presiden Donald Trump untuk menarik pasukannya dari Afghanistan pada Mei tahun ini.
Setelah Joe Biden berkuasa, ia mengumumkan bahwa penarikan pasukan diperpanjang hingga 11 September.
'Optimisme hati-hati'
Akhir pekan lalu, para pejabat Turki mengadakan pembicaraan dengan Taliban lebih dari tiga jam, menyusul serangan bom bunuh diri di bandara Kabul.
Diskusi di antaranya membicarakan tentang pengoperasian bandara itu sendiri di masa depan, di mana pasukan Turki telah menjaganya selama enam tahun.
Taliban bersikeras pasukan Turki ikut pergi bersama pasukan asing lainnya untuk mengakhiri "pendudukan" Afghanistan. Tapi akhir pekan lalu, pertemuan ini menjadi agenda yang lebih luas, kata analis.
Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan ia melihat pesan dari pemimpin Taliban dengan "optimisme hati-hati".
Dia menambahkan, bahwa ia "tidak akan mendapatkan izin dari siapa pun" tentang siapa yang diajak berbicara, ketika menjawab kritik atas hubungan dengan Taliban.
"Ini diplomasi," katanya dalam konferensi pers.
Dia menambahkan: "Turki bersiap untuk memberikan semua jenis dukungan bagi persatuan Afghanistan, tapi akan mengikuti jalur yang sangat hati-hati."
Prof Ahmet Kasim Han, pengamat hubungan Afghanistan dari Universitas Altinbas Istanbul, meyakini menjalin hubungan dengan Taliban akan memberikan kesempatan pada Presiden Erdogan.
"Untuk membuat cengkraman kekuasaan mereka berlanjut, Taliban butuh bantuan internasional dan investasi. Taliban bahkan tak bisa membayar gaji pegawai mereka saat ini," katanya kepada BBC.
Dia mengatakan, Turki mungkin berusaha untuk memposisikan dirinya sebagai "penjamin, mediator dan fasilitator" - lebih terpercaya dari pada Rusia atau China - yang telah membuka kedutaan mereka di Kabul.
"Turki dapat menjalankan peran itu," katanya.
Risiko reputasi
Banyak negara berusaha untuk mempertahankan beberapa bentuk hubungan dengan Taliban, sejak kelompok ini menguasai Kabul, khususnya melalui jalur Doha.
Tapi Turki berada di antara mereka yang memiliki posisi paling kuat untuk membangun hubungan di lapangan; meskipun situasinya penuh risiko.
Prof Han juga meyakini keberlanjutan hubungan di Afghanistan memungkinkan Presiden Erdogan untuk "memperluas papan catur" dari kebijakan luar negerinya, dan memainkannya dalam Partai AK sebagai basis dukungan.
"Mereka menganggap Turki sebagai negara yang ditakdirkan - memiliki posisi luar biasa di dunia Muslim. Ini menjadi dasar masa lalu Turki dan warisan Ottoman sebagai pusat kekhalifahan."
"Namun, jika peran itu mencapai titik di mana negara mana pun, termasuk Turki menjadi sponsor... membangun rezim Syariah yang brutal dalam praktiknya... Turki semestinya tak menempatkan dirinya di sana," tambahnya.
Langkah Erdogan dilaporkan memiliki motivasi yang "rasional" juga - dengan meningkatkan ketegangan hubungan Turki dengan AS dan Nato, dan membangun pengaruh untuk mencegah arus pengungsi Afghanistan ke Turki.
Adapun Qatar, para pejabatnya berharap mengambil peran sebagai mediator akan mengurangi, bukannya memperburuk, tahun-tahun pergolakan di Teluk.
Doha telah menengahi negosiasi antara faksi-faksi yang bersaing di sejumlah konflik besar di Timur Tengah. Tapi setelah Kebangkitan dunia Arab, pesaingnya di Teluk menuduhnya berpihak pada Islamis.
Pada 2017, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir dan Bahrain memutuskan hubungan - sejak dipulihkan - menuduh Qatar menjalin hubungan terlalu dekat dengan Iran dan memicu ketidakstabilan melalui saluran berita negara, Al Jazeera; namun klaim ini dibantah.
Sekarang, dengan situasi orang-orang Afghanistan yang sangat tidak pasti, Qatar dan Turki berada di tengah dan mereka dapat berbicara dengan Taliban dibandingkan negara lainnya; ketika China dan Rusia juga bersaing untuk ikut serta menentukan masa depan Kabul.
Prof Han mengatakan, ini merupakan opsi yang paling tidak buruk, apa yang ia sebut sebagai "pendekatan [paling] kolaboratif".
"Turki, sebagai anggota Barat, lebih rentan terhadap tekanan dari Barat atas masalah [hak asasi manusia]," katanya.
Riak dari berkuasanya Taliban baru saja dimulai. Kehidupan jutaan sipil Afghanistan tergantung dari bagaimana mereka menyebar.(BBC/bh/sya)