JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dua advokat atas nama Martinus Butarbutar dan Risof Mario hadir dalam sidang pertama yang digelar pada Rabu (18/12) di Ruang Sidang Panel MK.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Suhartoyo ini, Martinus menyebutkan bahwa Psal 12B, Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 38, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK bertentangan UUD 1945. Dalam sidang perkara yang teregistrasi Nomor 84/PUU-XVII/2019 ini, Martinus menguraikan bahwa sebagai warga negara Indonesia dirinya yang berprofesi sebagai advokat dirugikan hak konstitusionalnya dengan keberlakuan UU KPK. Menurut para Pemohon, dalam pasal a quo telah terjadi pemindahan kewenangan yang justru dilakukan oleh UU KPK. Sehingga, dalam penilaian para Pemohon, maka pimpinan dan penyidik KPK sudah seharusnya tidak memiliki wewenang dalam pelaksanaan UU KPK yang dimaksud.
Oleh karena yang diatur dalam UU KPK adalah kewenangan menjalankan hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi maka, sambung Martinus, dengan ketentuan yang mengatur hak Dewan Pengawas untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, penggeledahan, penyadapan, dan lainnya patut dimaknai bahwa kewenangan yang ada tersebut adalah kewenangan Dewan Pengawas saja.
"Oleh karena itu, organ Dewan Pengawas adalah organ yang dibentuk Presiden melalui Peraturan Presiden. Maka, Dewan Pengawas pun dalam pemberian izin tersebut bukan sepenuhnya atas dasar wewenangnya. Melainkan berdasarkan wewenang Presiden yang terkandung dalam Perpres sebagai pembentuk Dewan Pengawas. Artinya, Presiden juga berkuasa atas Dewan Pengawas," jelas Martinus yang hadir didampingi oleh Risof Mario selaku Pemohon II.
Dengan demikian, menurut para Pemohon, pembuat undang-undang telah dengan tidak jujur membangun asumsi seolah-olah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) adalah lembaga yang merupakan subordinat dari pemerintah. Asumsi ini, jelas Martinus, keliru atau dikelirukan pembuat udang-undang yang kemudian membangun kesan cukup alasan bagi pemerintah membentuk seolah-olah organ yang disebut Dewan Pengawas. Padahal, pengertian serumpun pada lembaga tersebut seharusnya dimaknai bahwa selain pemerintah ada lembaga eksekutif lainnya yang juga menjalankan sifat dan eksekutifnya di luar pemerintah. Bahwa, lembaga serumpun eksekutif itu tidak saling mengatasi, bukan cabang pemerintah, dan tidak dalam posisi subordinat satu sama lain. Untuk itu, para Pemohon mellaui Petitumnya memohonkan agar Mahkamah menyatakan UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Kedudukan Hukum
Menyikapi permohonan para advokat ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar mempertimbangkan pengajuan pengujian undnag-undnag ini atas nama perseorangan warga negara yang berprofesi sebagai advokat. Mengingat, kerugian konstitusional yang dimiliki tidak jelas terkait dengan kerugian konstitusional yang dialami, baik faktual maupun potensial. Untuk itu, Suhartoyo meminta agar para Pemohon mempertimbangkan kedudukan hukum pihaknya dalam hal ini.
"Mungkin Anda bisa mendapat kuasa dari seseorang yang secara faktual dirugikan dengan berlakunya UU KPK ini, atau bisa dapat kuasa dari NGO yang memiliki kepedulian terhadap penegakan UU ini dan ingin membagun penguatan pemerintahan yang bersih. Kalau ada lembaga yang berkiprah di situ, bisa dijadikan Pemohon. Tapi jika advokat, tolong diberi penguat argumentasi bahwa Anda dalam profesinya ada relevansinya mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya UU KPK ini," pinta Suhartoyo.
Sebelum mengakhiri persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta agar para Pemohon menyempurnakan permohonannya selambat-lambatnya menyerahkan kembali pada Selasa, 31 Desember 2019 pukul 15.30 WIB ke Kepaniteraan MK.(SriPujianti/LA/MK/bh/sya) |