JAKARTA, Berita HUKUM - Sepanjang belum resmi dilantik sebagai Presiden RI, status Joko Widodo belum Presiden terpilih dan belum benar-benar akan menjadi Presiden RI ke-7. Menurut hukum, status Jokowi sampai dengan hari ini adalah Calon Presiden Terpilih.
"Agar tidak menimbulkan kerancuan hukum, di dalam hukum itu segala sesuatunya harus mengandung kepastian. Dia belum pasti akan menjadi Presiden terpilih," kata Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, kepada wartawan, Kamis (24/7).
Untuk bisa disebut sebagai Presiden terpilih, Jokowi masih harus melewati dua fase pertarungan yaitu pertarungan hukum dan pertarungan politik. Dia harus menang lebih dulu dalam pertarungan hukum melawan Prabowo di Mahkamah Konstitusi (MK) apabila capres nomor urut 1 itu mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Di MK nanti, bisa saja Keputusan KPU yang menetapkan Jokowi sebagai calon Presiden terpilih dianulir. MK berwenang untuk mengganti pemenang Pilpres. Sebagai contoh, dalam PHPU Pemilu kepala daerah, hal yang semacam itu pernah terjadi. Diantaranya pada kasus PHPU Pemilukada Kotawaringin Barat.
Andaipun di MK nanti Mahkamah menjatuhkan putusan yang menyatakan menolak permohonan dari kubu Prabowo, maka kemenangan Jokowi dalam pertarungan hukum masih harus berlanjut ke pertarungan berikutnya.
"Pertarungan berikutnya adalah pertarungan politik antar parpol pendukung pasangan capres-cawapres di DPR," ujarnya.
Dalam pertarungan ini parpol pendukung Jokowi harus mampu menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Jokowi. Disitulah Jokowi akan diambil sumpah sebagai Presiden, sekaligus mengubah status dirinya dari seorang calon Presiden terpilih menjadi Presiden terpilih.
Sementara, salah satu anggota Timses Prabowo-Hatta, Ahmad Yani yang juga anggota DPR RI komisi III dari fraksi PPP mengatakan, "sebenarnya kpu wajib menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi yang dilakukan oleh Banwaslu, kemungkinan itu juga mungkin bagian dari proses / argumentasi kalau itu diajukan komplen ke Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Dan juga, "adalah kewenangan anggota DPR, jika 25 orang menandatangani hak angket dapat dibawa ke Paripurna. Paripurna menyetujui dapat menjadi wilayah politik," jelas Yani saat di Pos Pemenangan Capres Prabowo-Hatta di Rumah Polonia Jakarta, Rabu (23/7).
MK itu gugatan komplain terhadap sengketa pemilu. Gugatan hasil ataupun proses tadi kalau MK berpandangan memang terbukti, maka MK dapat memutuskan Pemilihan Suara Ulang (PSU).
Ahmad Yani menambahkan bahwa, MK yang bisa memerintahkan kepada KPU untuk melakukan pemilu ulang, "yang punya kapasitas itu hanya mahkamah konstitusi," ujarnya.
"PSU ulang dapat dilakukan. Dan itu sudah pernah terjadi, pilkada Jatim, pilkada NTB, pilkada Sumsel," pungkasnya.(ald/rmol/bhc/mnd) |