JAKARTA, Berita HUKUM - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menyebut bahwa, peran Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama (NU) tidak bisa dipandangan sebelah mata dalam rangka demokratisasi di Indonesia.
Demikian disampaikan Mu'ti di acara Launching dan bedah buku Islam, Masyarakat Sipil, dan Demokratisasi: Studi Kasus Muhammadiyah dan NU di Indonesia Pasca-Suharto karya Pramono Ubaid Tanthowi ini diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB), 17 Januari 2022 via daring dan disiarkan langsung oleh JIBPost, media jaringan intelektual berkemajuan.
Mu'ti menambahkan, pernyataan tersebut bukan berasal dari kalangan internal Muhammadiyah maupun NU, melainkan merupakan temuan dari penelitian yang banyak dilakukan oleh para ilmuwan, termasuk Ilmuan Barat.
"Banyak tulisan dari para ilmuwan Barat yang mengatakan bahwa Islam itu incompatible to democracy. Tapi pada konteks Indonesia, justru proponent dan mungkin bisa kita sebut tulang punggung demokrasi dan demokratisasi itu adalah ormas-ormas Islam, dua di antaranya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama," ucap Mu'ti.
Selain Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti yang membuka acara ini, juga hadir beberapa narasumber, di antaranya, Zuhairi Misrawi (Dubes RI untuk Republik Tunisia), Philips J. Vermonte (Dekan Fakultas Ilmu Sosial UIII), Zacky K. Umam (Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center UI), dan Sarah Monica sebagai moderator.
Sementara itu, Zuhairi Misrawi menyebut kehadiran NU dan Muhammadiyah yang sudah ada sebelum Indonesia ada telah memberikan corak atau langgam tersendiri terkait ekspresi keberislaman negeri ini.
Dubes RI untuk Republik Tunisia ini menilai bahwa buku Pramono ini penting sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus menjaga, mewarnai, dan menjadikan NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan utama untuk membangun dan mengawal negeri ini.
Zuhairi juga meminta izin kepada Pramono U. Tanthowi sebagai penulis buku untuk menerbitkan bukunya tersebut ke dalam bahasa Arab.
"Di Mesir itu ada Al-Azhar. Al-Azhar itu kekuatan besar yang sangat luar biasa bahkan partai politik sebesar Ikhwanul Muslimin itu tidak bisa menggantikan kekuatan masyarakat sipil seperti Al-Azhar. Saya kira Muhammadiyah dan NU itu kekuatan yang sangat besar, bahkan partai politik mana pun tidak mampu melampaui kekuatan dari NU dan Muhammadiyah ini."
"Maka beruntunglah negara-negara yang mempunyai kekuatan masyarakat sipil itu, karena dia bisa menjadi solusi alternatif ketika partai politik itu mengalami kebuntuan," imbuhnya.
Sebagai penutup, Pramono U. Tanthowi memberikan komentar atau respons terkait buku yang ia tulis. Ia mengatakan bahwa buku ini diadopsi dari Tesis di Departemen Ilmu Politik saat ia menjadi mahasiswa di University of Hawai'i.
Lebih lanjut, Komisioner KPU RI ini menjelaskan isi buku tersebut yang mana terjadi perubahan peran masyarakat sipil terutama di akhir masa Orde Baru dan Era Reformasi.
"Tidak selamanya menjadi kekuatan oposisi yang itu diperankan lama sekali sejak awal '90-an. Gus Dur mendirikan Fordem lalu Amien Rais menyuarakan suksesi sejak '93, misalnya. Tapi begitu masuk Reformasi, peran-peran organisasi kemasyarakatan sipil Islam itu berubah," paparnya.(muhammadiyah/bh/sya) |