JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Pemerintah melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengumumkan komitmen untuk memberikan “pinjaman“ kepada Dana Moneter Internasional, International Monetary Fund (IMF) untuk memperkuat permodalan lembaga tersebut. Jumlah komitmen tersebut tidak sedikit, sebesar 1 Miliar Dolar AS atau sekitar 9,4 Triliun Rupiah. Dana untuk memperkuat permodal IMF tersebut berasal dari cadangan devisa Indonesia di Bank Indonesia yang mencapai 111,528 Miliar Dolar AS (Mei,2012).
Peningkatan permodalan disepakati oleh Anggota IMF pada saat pertemuan tahunan pada bulan Juni 2012, jumlah totalnya mencapai 430 Miliar Dolar AS. Dana tersebut akan digunakan untuk menanggulangi krisis ekonomi di Negara maju dan dampak krisis tersebut di Negara berkembang. Seperti disebutkan dalam siaran pers IMF No. 12/148, Indonesia, Malaysia dan Thailand menyatakan komitmennya untuk bergabung dengan upaya internasional tersebut dan akan melakukan konsultasi di dalam negeri terkait hal itu.
Koalisi Anti Utang (KAU) menentang keras komitmen pemerintah Indonesia untuk menambah modal IMF tersebut karena;
Pertama; Masih dominannya peran negara maju dalam pengambilan keputusan di IMF menunjukkan bahwa reformasi lembaga keuangan internasional yang didorong oleh G20 adalah palsu dan tidak menghasilkan perubahan yang mendasar.
Salah satu kesepakatan penting yang digagas oleh G20 adalah inisiatif untuk melakukan reformasi terhadap lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, sekaligus memberi mandat kedua institusi ini sebagai agen penting dalam membantu pemulihan krisis. Dalam London Summit disepakati penambahan dana untuk kedua lembaga ini hingga mencapai US$1.1 triliun. Dalam pertemuan G20 di Pittsburg (2009), para pemimpin G20 menyepakati untuk mengalihkan hak suara negara-negara maju sebesar 5% bagi negara berkembang.
Mandat yang diberikan oleh anggota G20 tersebut memberi nafas baru kepada IMF setelah lembaga tersebut mengalami krisis legitimasi dan pembiayaan. Hal itu disebabkan karena negara-negara debitor IMF membayar lebih cepat utang mereka. Thailand membayar utang kepada IMF pada tahun 2003, lebih cepat dari jatuh tempo yang seharusnya, diikuti oleh negara-negara Amerika Latin seperti, Argentina, Brazil dan Venezuela. Indonesia juga membayar lebih cepat utang IMF pada tahun 2006. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya krisis keuangan di internal IMF karena pendapatan terbesar lembaga ini berasal dari pembayaran utang negara debitor.
Berdasarkan hasil penelitian Jubilee Debt Campaign (2012), sejak tahun 2003 debitor IMF menurun hingga mencapai titik terendah, 35 negara pada tahun 2008. Setelah krisis tahun 2008, jumlah debitor IMF meningkat kembali mencapai 55 negara pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa krisis ekonomi dunia tahun 2008 justru menjadi sumber keuangan baru baru IMF untuk kembali mendapatkan pendapatan dari pembayaran utang negara debitor.
Meskipun terjadi penambahan persentase hak suara bagi anggota dari negara berkembang, namun jika dibandingkan dari total hak suara masih sangat kecil, negara-negara maju masih mendominasi pengambilan keputusan dewan eksekutif IMF. Eropa memegang sepertiga dari kursi di dewan eksekutif dan klaim hak feodal yang dimiliki Eropa selalu menempati peran direktur eksekutif, terbukti dengan terpilihnya calon dari Uni Eropa Christine Lagarde sebagai Direktur IMF. Sedangkan Amerika Serikat memiliki hampir 17% hak suara sehingga memiliki hak veto.
Kedua; Tidak ada perubahan dalam persyaratan utang IMF. Deregulasi, privatisasi dan pengetatan anggaran sosial masih menjadi resep generik IMF kepada negara peminjam.
Upaya untuk mereformasi persyaratan IMF kepada negara peminjam juga jauh dari harapan. Third World Netwok, sebuah LSM think-thank berbasis di Malaysia melakukan analisis terhadap enam fasilitas utang IMF yang dimulai pada tahun 2008 terhadap negara-negara berkembang yang terkena dampak krisis. Studi tersebut menunjukan bahwa kebijakan pengetatan fiskal dan moneter masih diberlakukan oleh negara-negara yang menjadi pasien IMF. Umumnya persyaratan yang dikenakan adalah membatasi atau mengurangi pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran.
Studi yang sama dilakukan oleh Center for Economic and Policy Research (2009) atas peran IMF dalam mengatasi dampak krisis di negara-negara miskin dan berkembang mengemukakan kondisi serupa. Terdapat 31 negara dari 41 negara yang membuat perjanjian IMF menjalankan resep-resep kebijakan pro-cyclical dalam kebijakan makro ekonomi di sektor fiskal dan moneter. Belakangan persyaratan IMF tersebut juga menjadi model standar penanganan krisis di negara-negara Eropa.
Ketiga; Utang IMF untuk mengatasi krisis hanya akan menguntungkan bank-bank besar penyebab utama krisis di Amerika dan Eropa, sedangkan rakyat di negara penerima utang akan menanggung beban krisis lewat pemotongan anggaran sosial dan pembayaran utang
Bank-bank swasta Jerman dan Perancis adalah pemilik 70 persen dari total utang Yunani. Sehingga utang IMF kepada pemerintah Yunani pada akhirnya akan digunakan untuk membayar utang kepada Bank-bank swasta tersebut. Mobilisasi permodalan yang dilakukan oleh IMF sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh IMF ketika terjadi krisis di Asia Tenggara tahun 1997. Tidak jauh berbeda juga dengan 700 Miliar Dolar AS Troubled Assets Relief Program (TARP) yang digunakan oleh pemerintah Amerika untuk menalangi bank-bank besar di Amerika dari kebangkrutan. Seperti halnya TARP dana yang dikumpulkan untuk menalangi krisis Eropa adalah dana publik yang digunakan untuk membailout bank-bank swasta.
Krisis ekonomi tahun 1997 yang terjadi di Indonesia juga menunjukkan bahwa resep ekonomi IMF telah menyebabkan beralihnya utang swasta menjadi utang pemerintah, bahkan hingga sekarang, hampir 60 Trilyun setiap tahunnya dana APBN digunakan untuk membayar obligasi rekap tersebut.
Disaat bank-bank besar penyebab krisis keuangan di selamatkan, resep IMF yang mendorong anggaran ketat menyebabkan semakin terpuruknya kondisi sosial dan ekonomi di negara debitor IMF. Anggaran sosial dan anggaran untuk kebutuhan dasar rakyat di pangkas, dampak langsung dapat dilihat dengan bertambahnya pengangguran dan dipangkasnya anggaran pensiun.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk terlibat dalam memperkuat cadangan modal IMF sama dengan terlibat untuk menyengsarakan rakyat di Eropa. Pemerintah tidak belajar dari kesalahan masa lalu ketika masih dalam cengkraman IMF. Resep IMF dalam menyelesaikan krisis ekonomi di Indonesia terbukti justru semakin memperpuruk kita dengan utang yang menggunung. Bank-bank diselamatkan namun rakyat yang menanggung beban pembayaran utang sampai sekarang.
Menteri keuangan seharusnya berkaca pada kondisi utang Indonesia sebelum memutuskan untuk memberi pinjaman kepada IMF. Indonesia masih menjadi negara pengutang dengan beban pembayaran utang yang memberatkan anggaran negara. Jumlah pembayaran utang pada tahun 2011 mencapai Rp240.517 triliun, bahkan dalam pagu APBN-P 2012, jumlah pembayaran utang pemerintah sudah mencapai Rp322.709 triliun. Bila dibandingkan porsi anggaran untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan pertanian, jumlah pembayaran utang telah menghabiskan porsi anggaran Negara dalam jumlah yang sangat signifikan.
Kami menyerukan kepada anggota DPR untuk menolak komitmen pemerintah tersebut karena hanya akan melegitimasi kebijakan sesat IMF, semua kebijakan masa lalu yang didorong oleh IMF di Indonesia harus dicabut dan mendorong audit komprehensif utang pemerintah sebagai dasar untuk melakukan penghapusan utang.(bhc/rat)
|