JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi XI DPR-RI, Maruarar Sirait mengutarakan bahwa, agar pemerintah supaya lebih berhati-hati dalam menyanggupi target penerimaan pajak dan mengevaluasi penerimaan negara, pada acara dialog terbuka bertemakan, "Sinergitas Peningkatan Pemahaman Ketentuan Perlindungan Konsumen, Pengawasan Barang, dan Penegakan Hukum sebagai Upaya Pelaksanaan Perlindungan Konsumen dan Pemberantasan Penyelundupan" di Lindeteves Trade Center (LTC Glodok), Jakarta pada, Jumat (6/11).
Berdasarkan data Ditjen pajak, hingga 4 November lalu, penerimaan pajak baru mencapai Rp 774,5 triliun. Itu baru sekitar 60 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN Perubahan 2015 sebesar Rp 1.294, triliun.
Maruarar Sirait dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini beranggapan, kalau penerimaan negara dari sektor pajak tidak akan tercapai 100 persen. Bahkan, penerimaan pajak bakal berkurang hingga RP 200 triliun tahun ini. Hal ini senada dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang menurun dibandingkan dengan tahun lalu.
"Kita jujur saja, jika sedang sulit, yah bilang saja sulit. Namun, Pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih di atas negara lain. Memang pertumbuhan ekonomi tahun ini turun dibandingkan dengan tahun lalu," ujar Maruarar, saat membuka sesi dialog, dan menjadi moderator dan pembicara di hadapan peserta sesi dialog terbuka, yang diselenggarakan oleh Dirjen SPK Kemendag berkerjasama dengan Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu dan Bareskrim Mabes Polri, Jum'at (6/11).
Menurutnya Bea Cukai, sama kondisinya dengan Pajak bahwa, targetnya tidak tercapai. Bahkan, ia mengatakan, "Kemaren saat mencapai target, targetnya minta diturunkan. Sesuai 167 triliun menurut Menkeu. Kalau menurut saya, jika target pajak di atas 200 triliun lebih tidak akan tercapai," ungkap Maruarar.
Menurutnya, shortfallnya diduga dari data informasi yang ada, kisaran Rp 200 triliun. Itu artinya, akan jadi pelajaran berharga buat DPR dan Pemerintah. Di satu sisi, DPR tidak boleh sembarangan lagi memberikan persetujuan.
"Soalnya, perlu dipertimbangkan akibatnya apa? Bayangkan, kalau sampai APBN terserap 100 persen, belanja barang modal itu defisitnya bisa Rp 290 trilliun," jelasnya.
Maka itu, "Saya minta kepada Pemerintah agar sesuaikan saja dengan kondisi realitas sekarang. Kalo seperti itu APBN kita bisa terganggu," paparnya lagi.
Jika Pertumbuhan Ekonomi turun, maka pajak dinaikan, gak ada itu terorinya. "Makanya dari sini kami ingin dengarkan aspirasi dari Pedagang di Glodok, Polda, Bea Cukai, dan dari Dirjen Pajak," ungkapnya.
Kegiatan dialog ini di hadiri oleh Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kemendag Widodo, Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang diwakili oleh Disreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Mujiono, juga hadir anggota DPR-RI Komisi XI fraksi PDIP, Maruarar Sirait.
Selanjutnya, dari pihak Disreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Mujiono yang hadir dalam dialog tersebut juga menguraikan bahwa, sejauh ini dari pihak Kepolisian dalam menangani perkara sudah berbeda dengan sekian puluh tahun yang lalu, hanya mencari satu saja penegakan hukum, yakni hanya kepastian hukum.
Menurut Kombes Pol Mujiono, Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya, dalam upaya penegakan hukum, ada beberapa hal, Pertama (1) Kepastian hukum. Kedua (2) Ada manfaat di masyarakat. Ketiga (3) Ada rasa keadilan di masyarakat, dan Keempat (4) yang terakhir dapat mendukung pembangunan Nasional," jelasnya.
Dalam kondisi sekarang ini memang terkadang di masyarakat ada 'suara' ada yang ngaku Polisi yang operasi. Beliaupun mengingatkan kepada para pedagang di Glodok. Apabila nanti ada yang mengaku, langsung telpon saya, atau tanya surat tugasnya saja.
"Kalau dia gak mau ngasih. langsung telpon saja saya. Saya tanya pada kabidpropram Polda Metro, gabung sama saya, surat tugas sudah ada. kalau ada yang macam-macam. Tim saya akan saya gunakan," tegasnya, pada acara sosialisasi soal perlindungan konsumen dan peredaran barang ini, yang juga sebagai sarana untuk menjelaskan soal adanya isu sweeping aparat penegak hukum terhadap barang-barang yang tidak ber-SNI (Standar Nasional Indonesia) dan membuat para pedagang glodok resah.
Pada kesempatan yang sama, kemudian Widodo selaku Dirjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan mengingatkan, pedagang agar mengenali pemasok barang dagangannya. Penegasan ini disampaikan Widodo saat melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.70/M-DAG/PER/9/2015 dan Permendag No.73/M-DAG/PER/9/2015 , di Lendeteves Trade Centre (LTC) Glodok, Jakarta, Jumat (6/11).
Permen Menteri Perdagangan (Permendag) baru di bidang Standarisasi dan perlindungan Konsumen (SPK) merupakan hasil kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di sektor Perdagangan. "Permendag yang baru diterbitkan ini dapat memberikan iklim usaha yang lebih kondusif bagi pelaku usaha dalam menjalankan usahanya," ungkap Dirjen SPK, Widodo.
Kemudian, Pedagang harus mengenali siapa pemasok barang dagangannya, siapa importirnya. Dalam Permendag No.72 / M-DAG/PER/9/2015, yaitu tentang Perubahan ketiga atas Permendag Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standard Nasional Indonesia (SNI) Wajib terhadap barang dan Jasa yang diperdagangkan. Widodo turut juga menegaskan pentingnya nomor pendaftaran barang (NPB).
"Kewajiban kepemilikan surat pendaftaran barang (SPB) pada saat barang memasuki wilayah Republik Indonesia sudah ditiadakan, tapi tetap harus memiliki nomor Pendaftaran barang (NPB) yang sifatnya tidak transaksional," jelas Widodo.
Selain itu, ada kewajiban bagi pelaku usaha yang memperdagangkan barang untuk mengetahui identitas pemasok barang yang diperdagangkan. "Paling tidak harus tahu nama dan alamat lengkap produsen, importir, distributor, subdistributor, dan pemasok lainya. Hal ini bertujuan untuk ketelusuran barang, jika barang tersebut tidak sesuai ketentuan," lanjut Widodo.
Sedangkan Permendag No. 73/M-DAG/PER/9/2015 tentang kewajiban pencantuman label dalam bahasa Indonesia. Pada barang mempertegas sistem pengawasan pos audit terhadap penerapan label, pada barang sebelum diperdagangkan.
"Perubahan ketentuan pencantuman berbahasa Indonesia semula wajib berlabel bagi barang impor saat memasuki wilayah Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Permendag baru ini diubah menjadi ketentuan pencantuman label sebelum barang diperdagangkan di pasar dalam negeri, dengan sistem pengawasan pos-audit terhadap barang beredar di pasar dan di tempat penyimpanan barang di dalam negeri," tutupnya.(bh/mnd)
|