JAKARTA, Berita HUKUM - Dr Enny Sri Hartati Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagai pengamat Ekonomi menyampaikan pandangannya dalam sesi diskusi dengan tema "Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK : Evaluasi Bidang Politik Hukum dan Ekonomi" di Jakarta pada, Kamis siang (15/10). Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi implikasinya kepada rakyat, tergantung dengan ekspektasi rakyat sendiri baik atau buruknya. Apalagi, masyarakat sudah lama berharap serta menunggu janji-janji pemerintahan Jokowi-JK selama setahun ini.
Adapun yang hadir selain Dr Enny Sri Hartati dari perwakilan INDEF, turut hadir pula Arteria Dahlan selaku anggota komisi II DPR RI Fraksi PDIP, dan Rachmat mantan Ketum GPII selaku moderator.
Menurut Peneliti INDEF tersebut, perlu menjadi catatan dimana cakupan investasi yang menghasilkan, diharapkan dengan bentuk investasi yang substitusi Impor, selain itu juga bentuk Investasi yang padat karya, agar dapat menekan impor dan membuka lapangan kerja tentunya.
Seharusnya, tambah Enny paket kebijakan ekonomi itu untuk memperbaiki sistem investasi yang dibarengi dengan komitmen dan implementasi pemerintah yang bagus, meskipun paket itu tidak bisa memperbaiki kondisi ekonomi dalam jangka pendek.
"Peraturan Pemerintah (PP) sendiri selama ini justru belum dipahami dan belum dilaksanakan dengan baik oleh birokrasi di bawah," ujar Dr Enny, dimana kondisinya masih juga terjadi problem antara target dan implementasi.
Tolak ukurnya berdasarkan data yang ia miliki, dimana sejauh ini pengangguran totalnya mencapai 11,2% dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia, dimana dari 11,2% tersebut yang mencapai kira - kira 29 juta penduduk dengan estimasi penghasilan Rp 330.000,- perbulan. Seperti berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah orang miskin pada Maret 2015 sebanyak 28,59 juta atau 11,22 % dari jumlah penduduk Indonesia.
Enny juga menjelaskan bahwa, dari segi income atau penerimaan, menurutnya sejauh ini apabila penerimaan kita 100, namun estimasi belanja bisa mencapai 120. "Problemnya uang yang dari kita berhutang tidak terserap / dipakai. Bagaimana kita bisa bertahan jangka menengah, namun harus terhitung dengan jangka pendek," ungkapnya.
Misalkan paket II, untuk mengurus izin saja hampir di semua kabupaten/kota prosesnya selama 6 bulan. Bahkan ada yang lebih dari setahun.
Presiden boleh proses izin selama 3 jam, tapi syaratnya kalau sudah lengkap. Ini pemerintah serius menyelesaikan masalah atau tidak? Seperti pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang 700 ribuan orang saja antriannya luar biasa," tuturnya lagi.
Karena itu lanjut Dr Enny, kalau stimulus ekonomi itu hanya di awang-awang, hanya menjadi sandera sendiri. Terlebih lagi selama suku bunga tinggi, birokrasi tidak beres, tidak efektif, maka produksi akan terganggu.
Selain itu pemerintah harus tahu betul jika kita merupakan negara yang konsumerisme. Tingkat konsumsi rakyat itu besar, tapi rakyat tidak pernah bangkrut, melainkan hanya ada kesenjangan, sehingga negara yang bisa bangkrut," tegasnya.
Perlu diketahui, Kebijakan hari ini akan terkait dengan kondisi di masyarakat, namun menurutnya semua terukur dengan pasti dalam angka berbagai terobosan dalam bentuk paket kebijakan ekonomi, ada penanganan dan emergensi oleh Pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi 4,6%. Namun yang menjadi pertanyaan kebijakan, mengapa itu disebut paket ketika menentukan harga BBM, Elpiji, TDL, Upah, dll. "Seharusnya itu memang kewenangan Pemerintah. Paket masih dalam pertanyaan, kenapa solar yang diturunkan. Kenapa bukan premium ?," imbuhnya, sambil bertanya-tanya kembali, padahal harga minyak dunia saat ini masih kisaran dibawah USD 50 per barel.
"Harga Gas kenapa belum turun lagi? Padahal semua di NKRI harus pakai rupiah, tapi jual gas pada pake dollar tuh," tambah Enny.
Beliaupun masih mempertanyakan kinerja beberapa Kementerian yang menurutnya masih kurang maksimal, seperti Menteri Pertanian banyak blusukan kesana kemari, tapi harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, Menteri Perindustrian katanya pertumbuhan industri naik, tapi kini ramai terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran, paparnya saat diskusi.
Sementara itu, Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Arteria Dahlan, S.T., SH yang turut hadir mengemukakan kekhawatirannya, penetapan kabut asap sebagai bencana nasional justru akan menguntungkan pihak korporasi.
"Kita seharusnya berhati-hati, jangan sampai kejahatan korporasi di 'justifikasi', kejahatannya terlindungi dengan titel bencana," kata Arteria, di Jakarta, Kamis (15/10).
Politisi PDIP Arteria Dahlan mengatakan, peningkatan status menjadi bencana nasional memiliki implikasi hukum. Sebab, tanggung jawab penanggulangan bencana menjadi tugas pemerintah pusat.
"Kalau sudah namanya bencana nasional, nanti yang ditangkap ini bilang, 'Eh sorry ini kan bencana nasional kenapa ditindak?" ungkapnya.(bh/mnd) |