Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Internasional    
Ukraina
Ukraina: Bagaimana Perang Bisa Berakhir? Lima Kemungkinan yang Bakal Terjadi
2022-03-10 13:08:47
 

Pasukan Ukraina sedang bersiap menghalau serangan Rusia di kawasan Luhansk, 24 Februari 2022.(Foto: GETTY IMAGES)
 
UKRAINA, Berita HUKUM - Di tengah sengitnya invasi Rusia ke Ukraina, sulit menatap ke depan. Berita dari medan pertempuran, meja diplomasi, serta kedukaan keluarga korban tewas dan para pengungsi datang bergelombang.

Karena itu, mari duduk dengan tenang dan membahas apa saja kemungkinan yang bakal terjadi di Ukraina. Apa saja skenario yang sedang ditinjau para politisi dan perencana militer? Berikut lima kemungkinannya.

Dalam skenario ini, Rusia menggencarkan operasi militernya. Akan ada gempuran artileri dan serangan membabibuta di seantero Ukraina. Angkatan Udara Rusia-yang sejauh ini kurang terdengar memainkan peranan-akan melancarkan serangan udara mematikan.

Serangan siber besar-besaran juga melanda Ukraina, menargetkan sejumlah infrastruktur kunci di Ukraina. Pasokan energi dan jaringan komunikasi diputus. Ribuan warga sipil tewas.

Meskipun sudah melakukan perlawanan dengan gigih, pasukan Ukraina kalah dan Kyiv jatuh ke tangan Rusia dalam beberapa hari.

Pemerintah Ukraina kemudian diganti dengan rezim boneka pro-Rusia. Presiden Volodymyr Zelensky bisa dibunuh atau kabur ke bagian barat Ukraina atau luar negeri untuk membentuk pemerintahan terasing.

Presiden Putin mendeklarasikan kemenangan dan menarik pasukannya, namun menyisakan beberapa unit untuk mempertahankan kendali atas Ukraina. Ribuan warga Ukraina berbondong-bondong mengungsi ke Barat. Belarus menjadi negara yang tunduk pada Rusia.

Kemungkinan ini tidak mustahil, tapi bakal tergantung pada beberapa faktor: Pasukan Rusia menguasai kawasan-kawasan kunci, lebih banyak personel yang dikerahkan, dan semangat tempur pasukan Ukraina memudar.

Putin mungkin bisa mengubah pemerintahan di Kyiv serta mengakhiri upaya Ukraina bergabung ke kekuatan Barat. Meski demikian, pemerintahan pro-Rusia bakal tidak sah dan rentan mengalami pemberontakan.

Kondisi itu bakal tidak stabil dan kemungkinan konflik pecah lagi akan tinggi.

Perang berkepanjangan

Kuat kemungkinan konflik ini akan berkepanjangan. Mungkin pasukan Rusia akan terhambat, daya juangnya menurun, logistik buruk, dan kepemimpinan yang tidak becus.

Mungkin perlu waktu lebih panjang bagi pasukan Rusia untuk merebut Kyiv karena banyak petempur bergerilya. Pengepungan untuk waktu yang lama kemudian bisa terjadi.

Hal ini mengingatkan kita pada upaya Rusia nan brutal dan lama untuk merebut serta menghancurkan Grozny, ibu kota Chechnya, pada 1990-an.






Grozny


SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES





Keterangan gambar,


Milisi Chechnya saat pendudukan Rusia di Grozny.





Kendati ketika pasukan Rusia berhasil menembus sejumlah kota di Ukraina, ada kemungkinan mereka sulit mempertahankan kendali.

Mungkin Rusia tidak mampu mengerahkan jumlah pasukan yang cukup untuk ditempatkan di negara yang sedemikian luas.

Pasukan Ukraina lantas berubah menjadi pasukan pemberontak yang efektif, punya daya juang tinggi, serta mendapat sokongan masyarakat. Adapun negara-negara Barat terus menyediakan senjata dan amunisi.

Setelah beberapa tahun, mungkin dengan kepemimpinan yang baru di Moskow, pasukan Rusia akhirnya meninggalkan Ukraina dengan berdarah-darah seperti ketika hengkang dari Afghanistan pada 1989 -satu dekade setelah bertempur melawan mujahidin.
Mungkinkah perang ini keluar dari perbatasan Ukraina? Presiden Putin bisa saja bertekad mengambil alih bekas wilayah mendiang Uni Soviet dengan mengirim pasukan ke Moldova dan Georgia yang bukan anggota NATO.

Atau bisa saja terjadi salah perhitungan dan eskalasi. Putin dapat menyatakan pasokan persenjataan dari Barat kepada pasukan Ukraina sebagai tindakan agresi sehngga dia melakukan pembalasan.

Dia juga dapat mengancam untuk mengirim pasukan ke negara-negara Balkan-yang merupakan anggota NATO-seperti Lithuania untuk menciptakan koridor darat dengan wilayah pesisir Rusia, Kaliningrad.

Berperang dengan anggota NATO adalah tindakan berbahaya dan berisiko. Sebab sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Piagam NATO, Pasal 5 Piagam NATO, serangan terhadap satu anggota dianggap sebagai serangan kepada semua anggota.

Bagaimanapun, Putin bisa mengambil risiko itu jika dia merasa bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kekuasaannya.

Jika Putin menghadapi kekalahan di Ukraina, dia bisa tergoda untuk mengeskalasi konflik.

Dari invasi ke Ukraina, kita sekarang tahu bahwa Putin siap melanggar norma-norma internasional. Logika serupa bisa diterapkan pada penggunaan senjata nuklir. Pekan ini Putin menyiagakan satuan tugas nuklir Rusia pada taraf siaga tertinggi.

Sebagian besar analis meragukan bahwa penggunaan senjata nuklir bisa terjadi dalam waktu dekat. Namun, itu adalah pengingat bahwa doktrin Rusia membolehkan penggunaan senjata taktis nuklir di medan pertempuran.

Solusi diplomatik

Apakah masih ada solusi diplomatik?

"Sekarang senjata yang bicara, namun jalur dialog mesti harus tetap terbuka," kata Sekjen PBB, Antonio Guterres.

Dialog jelas masih berlangsung. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah berbincang dengan Putin melalui telepon. Kemudian, para pejabat Ukraina dan Rusia telah bertemu untuk berunding di perbatasan Belarus.

Mereka mungkin tidak mencapai banyak kemajuan. Namun, dengan menyepakati pembicaraan, Putin setidaknya menerima kemungkinan negosiasi gencatan senjata.

Pertanyaan kuncinya, apakah Barat bisa menyediakan "off ramp"- istilah yang dipakai para diplomat dengan meminjam sebutan bagi jalur keluar dari jalan tol di Amerika Serikat.

Para diplomat menegaskan bahwa penting bagi Putin untuk mengetahui apa yang diperlukan agar rangkaian sanksi dari negara-negara Barat bisa dicabut sehingga dia tidak kehilangan muka.

Pertimbangkan kemungkinan ini.

Perang berakibat buruk bagi Rusia. Rangkaian sanksi mulai membuat resah Moskow. Aksi protes mulai berkembang dan kantong-kantong jenazah serdadu berdatangan.

Putin lantas bertanya-tanya apakah invasi yang dilakukan sebanding dengan hasil negatif yang dia alami. Dia bisa menilai bahwa melanjutkan perang mungkin menimbulkan ancaman lebih besar terhadap kekuasannya ketimbang rasa malu mengakhiri invasi.

China turut campur, mendesak Moskow agar berkompromi sembari memperingatkan bahwa Beijing tidak akan menbeli minyak dan gas Rusia jika konflik tidak diredakan.

Putin kemudian mulai mencari jalan keluar. Di sisi lain, pemerintah Ukraina melihat kehancuran negara mereka dan menyimpulkan kompromi politik lebih baik ketimbang kehilangan nyawa dalam jumlah besar.

Para diplomat berinteraksi dan menghasilkan kesepakatan.

Ukraina, katakanlah menerima kedaulatan Rusia atas Krimea dan beberapa bagian wilayah Donbas. Sebagai gantinya, Putin menerima kemerdekaan Ukraina dan hak mereka memperdalam hubungan dengan Eropa.

Ini boleh jadi kemungkinan yang tipis

Tapi bukan hal yang mustahil skenario semacam itu bisa terwujud di tengah konflik berdarah.

Putin disingkirkan

Lalu bagaimana dengan nasib Vladimir Putin? Ketika melancarkan invasi, dia menyatakan: "Kami siap menghadapi hasil apapun".

Tapi bagaimana jika hasilnya adalah dia kehilangan kekuasaan? Mungkin ini sama sekali tidak terpikirkan. Namun, dunia telah berubah dalam beberapa hari terakhir dan hal itu juga tidak pernah terlintas dalam benak kita.

Profesor Sir Lawrence Freedman, Profesor emeritus bidang Kajian Perang di Kings College, London, menulis pada pekan ini: "Sekarang bisa saja terjadi perubahan rezim di Moskow seperti di Kyiv."

Mengapa dia berpendapat demikian?

Mungkin karena Putin menjalankan perang yang sarat malapetaka. Ribuan serdadu Rusia tewas, rangkaian sanksi ekonomi dirasakan warga, dan Putin kehilangan sokongan masyarakat.

Mungkin ada ancaman revolusi masyarakat. Kemudian Putin menggunakan aparat keamanan internal untuk menekan oposisi. Namun, kondisinya berubah masam sehingga elemen-elemen elite militer, politik, dan ekonomi yang melawan Putin. Terjadi kudeta berdarah di Istana Kepresidenan dan Putin dilengserkan.

Negara-negara Barat sudah menegaskan bahwa jika Putin hengkang dan digantikan pemimpin yang lebih moderat, maka rangkaian sanksi akan dicabut dan hubungan diplomatik dipulihkan.(BBC/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Ukraina
 
  Ribuan Drone Digunakan Perang di Ukraina, Mengapa Fungsinya Begitu Penting?
  Krisis Pangan, Rusia Buka Opsi Ekspor Gandum Ukraina
  Rusia Ingin Umumkan Kemenangan di Ukraina pada 9 Mei, Kenapa Tanggal Itu Begitu Penting?
  Mengapa Indonesia Abstain Saat Rusia Dikeluarkan dari Dewan HAM PBB?
  Bagaimana Sikap Negara BRICS terhadap Rusia?
 
ads1

  Berita Utama
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet

Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu

Dukung Hak Angket 'Kecurangan Pemilu', HNW: Itu Hak DPR yang Diberikan oleh Konstitusi

100 Tokoh Deklarasi Tolak Pemilu Curang TSM, Desak Audit Forensik IT KPU

 

ads2

  Berita Terkini
 
Polda Metro Respon Keluhan Pedagang Ikan Modern Muara Baru Jakarta Utara dengan Pengelola Pasar

Nikson Nababan Menyatakan Siap Maju Pilgub Sumut, Jika Mendapat Restu Ibu Megawati

BP2MI Siap Sambut 9.150 Pekerja Migran Indonesia yang Cuti Lebaran 2024 dan Habis Masa Kontraknya Kembali ke Tanah Air

Datang Lapor ke Komnas HAM, MPA Poboya Adukan Polres Palu ke Komnas HAM, Dugaan Kriminalisasi

Gelar Rakor Lintas K/L, Polri Pastikan Mudik-Balik Lebaran 2024 Berjalan Aman dan Nyaman

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2