JAKARTA-Meski memiliki wewenang untuk menguji UU, namun wewenang itu tak bisa digunakan Mahkamah Konstitusi (MK) menguji hukum internasional yang disahkan menjadi UU. "Secara substantif ASEAN Charter yang disahkan dengan UU Nomor 38/2008 bukanlah wet in formele zjin, sehingga bukan merupakan UU yang dapat dimohonkan pengujian di MK,” kata pakar hukum tata negara UGM Fajrul Falaakh dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Rabu (3/8).
Fajrul hadir sebagai saksi ahli dalam sidang pleno pengujian Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat 2 huruf n UU 38/2008 hasil ratifikasi Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Uji materi (judicial review) ini merupakan permohonan yang diajukan sekelompok aktivis dan LSM yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global, Institut for Global Justice, Serikat Petani Indonesia, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Migrant Care, Asosiasi Pembela Perempuan Usaha Kecil, Petisi 28 dan Koalisi Anti Utang.
Para pemohon ini menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas itu merugikan industri dan perdagangan nasional, karena Indonesia harus tunduk dengan segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN. Untuk itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Dalam kesempatan ini, Fajrul mengatakan, secara substantif suatu peraturan presiden yang mengesahkan perjanjian internasional juga bukanlah hal yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung (MA). Prosedur internal di Indonesia, sebagaimana diatur UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian internasional tidak memerlukan pengujian ke MK.
"Apabila MK dan MA berwenang menguji perjanjian internasional, banyak ratifikasi konvensi atau perjanjian internasional berpotensi dibatalkan di forum pengadilan yang tidak tunggal," ujar Fajrul, menanggapi pertanyaan hakim konstitusi M Akil Mochtar yang menanyakan kewenangan MK atas pengujian UU yang dilahirkan dari perjanjian internasional.
Lebih lanjut diungkapkan, dari data Kementerian Hukum dan HAM per 29 Juli 2011, ada 296 perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Namun, hal tersebut akan berbeda bila UUD 1945 juga mengadopsi judicial preview oleh MK pada proses ratifikasi perjanjian internasional.
"Atau DPR baru mengesahkan perjanjian internasional yang dibuat oleh presiden setelah DPR memperhatikan pertimbangan MK. Tentu hal ini akan mengubah struktur dan proses ratifikasi perjanjian internasional sehingga memerlukan amandemen konstitusi," jelas Fajrul yang hadir sebagai ahli dari pihak termohon yakni emerintah.(mic/wmr)
|