Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Lingkungan    
Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global 'Badan REDD+: Langkah Maju Atau Langkah Panik?'
Monday 09 Sep 2013 17:08:59
 

Ilustrasi, Hutan.(Foto: Ist)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Setelah sekian lama, pada tanggal 2 September 2013 Presiden akhirnya membentuk Badan REDD+ melalui Peraturan Presiden No. 62 tahun 2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut, Senin (9/9).

Proses politik untuk membentuk lembaga ini memakan waktu lebih dari 2 tahun. Periode ini cukup panjang, bahkan lebih lama dari pembentukan beberapa Undang-Undang. Namun, sangat disesalkan bahwa materi muatan Perpres ini sama sekali tidak menghasilkan terobosan apapun, baik bagi perbaikan tata kelola, perlindungan dan perwujudan hak asasi manusia, maupun persoalan pemulihan kerusakan hutan dan lahan gambut.

Koalisi menggarisbawahi beberapa pertanyaan besar yang patut diperiksa baik dalam proses pembentukan maupun materi muatan Perpres ini.

Pertama, terbentuknya Badan REDD+ sepertinya menggambarkan manajemen panik rezim SBY. Pertimbangan pembentukan Lembaga REDD+ nampaknya tidak disertai dengan evaluasi yang memadai terhadap lembaga-lembaga non-struktural yang saat ini jumlahnya telah mencapai lebih dari 80 lembaga.

Banyak kajian menunjukan bahwa sebagian besar lembaga-lembaga ini tidak berjalan efektif tetapi sangat efisien dalam menghamburkan uang negara (rakyat). Sejak awal, Koalisi telah mengingatkan bahwa kehadiran lembaga-lembaga transisi tidak akan mampu mengubah sistem yang korup kecuali jika disertai dengan perubahan yang mendasar pada lembaga-lembaga status quo yang membentengi diridengan keras dari upaya-upaya reformasi.

Dalam hal ini, Lembaga REDD+ yang telah disunat di sana sini kemungkinan hanya akan memainkan peran minor bila dihadapkan dengan institusi-institusi mapan seperti Kementerian Kehutanan, Pertambangan, danPertanian yang seharusnya menjadi target utama upaya penurunan emisi.

Kedua, Badan REDD+ mengulang jebakan kompromistis lembaga-lembaga serupa yang akhirnya hanya mempunyai kewenangan koordinatif dan komunikatif. Banyak faktamembuktikan bahwa kewenangan koordinasi hanya menjadi pepesan kosong dan pemanis bibir. Mengingat besarnya persoalan kehutanan, termasuk tantangan politik yang dihadapi,Badan REDD+ seharusnya diberi ruang untuk mengevaluasi kinerja berbagai sektor, termasuk kehutanan, tambang dan perkebunan/pertanian, terutama dalam kaitannya dengan pelepasan emisi.

Koalisi memandang bahwa pembentukan Lembaga REDD+ ini telah terjebak dalam titik kompromi antarsektor yang menggelikan. Lembaga ini telah kehilangan kesempatan untuk meninjau perilaku deforestasi terpimpin yang digawangi sektor ekstraktif dan tidak cukup kuat untuk memberi diagnosa kebijakan yang tepat.

Ketiga, Perpres ini dibentuk menjelang PEMILU 2014 dimana transaksi dan ongkos politik mulai dikumpulkan oleh berbagai partai. Kewenangan lembaga ini yang nampaknya banyak menyinggung isu pendanaan REDD+ patut dijaga dari korupsi politik.

Masyarakat sipil mengapresiasi adanya kerangka pengaman pendanaan untuk mencegah resiko penyalahgunaan maupun penyimpangan. Namun, Koalisi mencermati belum jelasnyakerangka pengaman yang dimaksud dalam Perpres berpotensi membuka penyalahgunaan maupun penelikungan makna kerangka pengaman untuk memuluskan kepentingan tertentuterkait Pemilu.

Keempat, Koalisi menyerukan agar Badan REDD+ tidak terjebak dalam pendekatan proyek karena kompleksitas permasalahan kehutanan di Indonesia tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan proyek REDD+, seberapa pun besar nilainya. Hal ini karena yang menjadi permasalahan bukanlah dana, melainkan kejelasan langkah dan kemauan politik.

Kelima, Koalisi juga memperingatkan bahwa Perpres 62/2013 masih mengandung jebakan definisi yang mengartikan deforestasi hanya sebagai “perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan.” Artinya, pembukaan “kebun” HTI ataupun sawit tidak dianggap sebagai deforestasi. Dalam konteks tumpang tindih perizinan, kacaunya penataan ruang, dan korupsi, definisi deforestasi semacam ini sangatlah lemah.

Terakhir, Koalisi mengapresiasi adanya niat Pemerintah melalui Perpres ini untuk mendapatkan sumber pendanaan yang mandiri dan tidak terikat (pasal 25) sebagai bentuk independensi dan kedaulatan dalam pengelolaan pendanaan.

Seharusnya pasal ini melindungi segala pengelolaan sektor kehutanan melalui REDD+ dari segala bentuk intervensi pendanaan dalam bentuk hutang, bantuan teknis, maupun hibah dengan syarat.Koalisi menekankan bahwa harus ada lampiran untuk menegaskan definisi sumber yang tidak boleh diterima untuk ini.

Dengan pertimbangan tersebut, Koalisi mendesak Pemerintah untuk:

1. Memperjelas langkah-langkah jangka pendek, menengah, dan panjang yang akan dijalankan Badan ini secara inklusif, dengan terlebih dahulu melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kelembagaan sebelumnya.

2. Memberikan kejelasan mengenai langkah-langkah penyelesaian berbagai permasalahan kehutanan yang masih tersisa dan tertuang dalam Strategi Nasional REDD+, termasuk review izin, penegakan hukum yang ditekankan pada pendorong deforestasi utama, pengamanan hak tenurial dan wilayah kelola masyarakat adat dan lokal, serta penyelesaian konflik kehutanan berbasis hak dan memastikan kepatuhan berbagai Kementerian/Lembaga berdasarkan garis-garis kebijakan dalam Stranas REDD+

3. Tidak mengklaim pembentukan lembaga REDD+ sebagai bagian dari tindakan melampaui business as usual, kecuali jika diikuti dengan perombakan mendasar pada tata kelola lembaga-lembaga terkait lainnya seperti Kehutanan, Pertambangan dan Perkebunan.
4. Terus mendorong upaya perbaikan tata kelola kehutanan dan sektor sumber daya alam sebagaimana Mandat Tap MPR No. IX tahun 2001.

5. [Terkait mekanisme pendanaan] konsisten untuk tetap berdaulat dan menolak bentuk pendanaan yang mengikat, termasuk di dalamnya hutang, hibah, bantuan teknis yang mengikat, maupun bentuk-bentuk CSR yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang memiliki sejarah perusakan hutan demi pemutihan citranya.

Pemerintah tidak boleh menjadikan pasar karbon sebagai sumber pembiayaan bagi perbaikan hutan karena selain tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan pengurangan emisi GRK, langkah ini juga tidak akan memberikan perlindungan hutan tambahan dan keadilan lingkungan.(wlh/bhc/rby)



 
   Berita Terkait > Koalisi Masyarakat Sipil
 
  Jadilah Bagian dari Gelombang Aksi Global Penyelamatan Iklim
  Koalisi Masyarakat Sipil: KPK dan PPATK Harus Dilibatkan dalam Seleksi Kapolri
  Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global 'Badan REDD+: Langkah Maju Atau Langkah Panik?'
  ICW Desak SBY Tegur Keras Kapolri Terkait Kasus Menghalangi Eksekusi Susno Duadji
  RAPBN 2013 Tersandera Birokrasi dan Utang
 
ads1

  Berita Utama
Pengadilan Tinggi Jakarta Menghukum Kembali Perusahaan Asuransi PT GEGII

Presidential Threshold Dihapus, Semua Parpol Berhak Usulkan Capres-Cawapres

Kombes Donald Simanjuntak Akhirnya Dipecat dari Polri Buntut Kasus DWP

Desak DPR Bela Hak Konsumen, Korban Meikarta Tetap Gelar Aksi Meski Diguyur Hujan

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jangan Lupakan Pesantren dan Madrasah Jadi Penerima Manfaat Program Makan Bergizi Gratis

Pemerintah Tarik Utang Rp 85,9 Triliun Lebih Awal untuk Biayai Anggaran 2025

DPR dan Pemerintah Sepakat BPIH 2025 Sebesar Rp 89,4 Juta, Turun Dibandingkan 2024

Kabar Terkini Sengketa Kepemilikan Akun Lambe Turah

Pengadilan Tinggi Jakarta Menghukum Kembali Perusahaan Asuransi PT GEGII

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2