JAKARTA, Berita HUKUM - Hasil riset tipologi dan kasus pencucian uang di dunia menunjukan bahwa profesi tertentu termasuk Notaris dapat dimanfaatkan sebagai gatekeeper oleh pelaku pencucian uang untuk mengaburkan asal-usul dana yang sejatinya berasal dari tindak pidana.
Profesi Notaris rentan dimanfaatkan untuk pencucian uang karena adanya ketentuan kerahasiaan yang diberikan berdasarkan Undang-Undang seperti kerahasiaan hubungan antara notaris dengan klien sebagai alat dalam skema pencucian uang. Dalam periode 2011 sampai dengan bulan Maret 2015, terdapat 62 LTKM atau laporan yang berasal dari PJK (Penyedia Jasa Keuangan) Bank yang melaporkan 51 Notaris terindikasi transaksi keuangan mencurigakan.
"Pencucian uang memiliki dampak yang besar karena ruang lingkup dan dimensinya sangat luas, yakni mencakup kegiatan organized crime, white-collar crime, corporate crime dan transnational crime, bahkan seiring kemajuan TI menjadi salah satu bentuk dari cyber crime," ucap Dirjen AHU Cahyo Rahadian Muzhar di Hotel Lumire, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Selasa (11/12).
Cahyo mengungkapkan Gathering Reports & Information Processing System (GRIPS) adalah sistem yang dibangun oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menghindarkan dan upaya pengawasan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mungkin saja dapat dilakukan melalui transaksi dengan menggunakan notaris dengan menyembunyikan atau menyamarkan identitas atau asal usul harta kekayaan yang diperoleh secara ilegal sehingga harta kekayaan tersebut tampak berasal dari sumber yang sah.
Soal pencucian uang, Cahyo mengatakan rusaknya reputasi bisnis, merongrong sektor swasta yang sah, menganggu likuiditas bisnis, meningkatkan instabilitas sistem keuangan, hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonom, dan meningkatkan kejahatan baik jenis maupun kualitas.
Menciptakan atau memperparah ketimpangan sosial akan menimbulkan biaya sosial yang tinggi dan perspektif Internasional antara lain, rusaknya reputasi dan kredibilitas negara di mata dunia internasional, mengganggu transaksi bisnis internasional dan memunculkan kriminalisasi pencucian uang di Indonesia.
Ketentuan terkait pencegahan dan pemberantasan TPPU dapat membantu penegak hukum dalam kebutuhan penegak hukum untuk mendeteksi, melacak, menelusuri dan menganalisa transaksi keuangan serta menangani dugaan TPPU mulai dari penyidikan sampai dengan persidangan serta pengembalian hasil tindak pidana (asset recovery).
"Titik kerawanan notaris disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang," tambah Cahyo.
Lebih lanjut, Cahyo mengatakan kegagalan melakukan CDD (Customer Due Diligence)/KYC (Know Your Customer) yang memadai (tidak hanya validasi identitas tetapi juga background check, termasuk terhadap PEPs (politically exposed person) perlu dilakukan EDD (Employment Development Department). Notaris yang lemah dalam melakukan CDD menjadi target pelaku pencucian uang.
"Gagal melakukan CDD terkait sumber dana dan BO dan background check," ucapnya.
Cahyo juga sebut peran Ditjen AHU dalam mendukung Online Single Submission (OSS). OSS adalah sistem yang mengintegrasikan seluruh pelayanan perizinan berusaha yang menjadi kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, atau Bupati/Walikota yang dilakukan secara elektronik.
Dirinya menjelaskan sebelum mengakses sistem OSS, Badan Usaha terlebih dahulu mengurus pengesahan akta pendirian melalui AHU Online untuk mendapatkan SK Pengesahan Pendirian. Setelah proses pada AHU Online selesai dan keluar SK Pengesahan, service integrasi antara Ditjen AHU dan Ditjen Pajak dijalankan untuk pembuatan NPWP Perseroan. Setelah mendapat SK pengesahan yang disertai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Perseroan, pemohon dapat melakukan proses perizinan di OSS.
"Peran Ditjen AHU dalam Mendukung OSS sudah terintegrasi dengan Ditjen Pajak dalam penerbitan NPWP dan lembaga terkait lainnya," tutup Cahyo.(ahu/bh/amp) |