JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyesalkan sampai hari ini tidak ada pejabat definitf sebagai Dirjen Minerba, Kementerian ESDM di tengah carut-marut persoalan tambang. Hal tersebut, menurutnya, bukti ketidaksungguhan Pemerintah dalam mengelola sektor vital negara tersebut.
Bahkan, saat ini terjadi sentralisasi kewenangan pertambangan ke Pemerintah Pusat melalui revisi UU Minerba. Di mana Dirjen Minerba (mineral dan batubara) justru ditugaskan untuk merangkap jabatan sebagai PLT Gubernur Bangka Belitung. Tak lama setelah itu pun meledak kasus korupsi tunjangan kinerja di Direktorat Jenderal Minerba.
"Pemerintah terkesan ogah-ogahan mengurusi masalah pembinaan dan pengawasan pertambangan ini sementara pada bagian lain sangat bernafsu untuk mensentralisasinya ke pusat. Ibarat pepatah, nafsu besar, tenaga kurang," ungkap Mulyanto dalam keterangan kepada media, di Jakarta, Jumat (5/4).
Di sisi lain, alih-alih Pemerintah menetapkan Dirjen Minerba dengan pejabat yang definitif, yang dilakukan Pemerintah justru secara bergantian hanya menempatkan pejabat selevel Pelaksana Harian (PLH), baru kemudian diangkat pejabat selevel Pejabat Pelaksana Tugas (PLT). Ia menilai idak mungkin pejabat sekelas PLT Dirjen mampu melawan mafia tambang dengan jaringan dan beking yang sangat kuat tersebut.
Sementara itu Satgas Terpadu Tambang Ilegal yang digembar-gemborkan Pemerintah sampai hari ini, dimana usia Pemerintahan tinggal seumur jagung, belum juga terbentuk. Sehingga secara kelembagaan sulit diyakini, bahwa Pemerintah serius mengurusi soal pembinaan dan pengawasan sektor pertambangan ini.
Oleh karena itu, Politisi dari Fraksi PKS ini mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk sungguh-sungguh menjalankan Konstitusi dan amanat UU Minerba, agar sumber daya tambang ini benar-benar dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan hanya sekedar kemakmuran segelintir atau sekelompok orang.
Tidak hanya itu, Ia juga mendesak Pemerintah membangun tata kelola pertambangan yang baik, terutama aspek pembinaan dan pengawasan tambang. Meskipun, sejatinya Ia pesimis Presiden Jokowi di sisa-sisa Pemerintahannya dapat menyelesaikan masalah krusial pertambangan nasional ini dengan baik.
Pasalnya, menurutnya, terbongkarnya kasus korupsi timah senilai Rp. 271 triliun hanyalah puncak gunung es dari persoalan karut marut tata kelola pertambangan nasional. Karena itu, Ia mendesak Pemerintahan yang akan datang menjadikan masalah ini sebagai pekerjaan rumah super prioritas, yang dibuktikan di 100 hari kerja pertama mereka.
"Pemerintah yang akan datang harus bisa membuktikan diri, bahwa mereka tidak kalah dari mafia tambang dan para bekingnya", tutup Mulyanto.(DPR/bh/sya) |