JAKARTA, Berita HUKUM - Bukan hanya di Bali kejadian seperti yang sekarang ini, di beberapa wilayah di Indonesia juga sering terjadi hal yang sama, bahkan mungkin sedikit lebih parah. Munculnya pro dan kontra dalam rencana reklamasi di Teluk Benoa yang akan dilakukan oleh PT. Tirta Wahana Bali International adalah hal wajar dan memang itu adalah fakta yang ada saat ini.
Jika pihak perusahaan dan pemerintah provinsi Bali serta Kementerian Lingkungan Hidup sudah berbicara pada level dokumen Amdal yang akan dijadikan indikator apakah layak atau tidak rencana reklamasi tersebut, WALHI justru beranggapan bahwa level untuk berdebat soal dokumen Amdal adalah tahapan yang kesekian dan tahapan itu masih cukup jauh.
WALHI lebih fokus pada upaya untuk membatalkan Perpres 51 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres 45 tahun 2011 Rencana Tata Ruang Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA), karena ini adalah persoalan mendasar yang menurut WALHI ada unsur pemaksaan atas peraturan tersebut. Menurut WALHI ini adalah tindakan-tindakan yang bertentangan dengan konstitusi, baik yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan juga pihak pemerintah yang sengaja membuka ruang tersebut. Sangat disayangkan sikap pemerintah provinsi Bali yang terlalu mudah terpengaruh dengan perusahaan dibanding membuak ruang bagi publik seluas-luasnya untuk berdialog dan mencari solusi atas rencana reklamasi tersebut.
Selain bertentangan dengan konstitusi juga tidak mengacu pada asas pemerintahan yang baik dan bebas dari KKN, beberapa indikasi yang kami kembangkan kemungkinan besar mengarah ke hal-hal yang berbau korupsi, pasca kami mendapat surat balasan dari Kementerian Kelauatan dan Perikanan. Perpres 45 tahun 2011 tentang RTR Perkotaan SARBAGITA sangat jelas tercantum dalam Pasal 55 Ayat 3 huruf a bahwa Taman Hutan Raya Ngurah Rai dengan luasan 1.375 hektar namun kemudian pada Perpres 51 tahun 2014 secara mudah kemudian menghilangkan angka tersebut, itu artinya bahwa pemerintah provinsi Bali sengaja membuat kabur luasan wilayah konservasi tersebut. Akal-akalan lainnya adalah mempermainkan kata “sebagian”, nama-nama lokasi atau tempat yang disebutkan sengaja dihilangkan dan seterusnya, intinya agar bisa membuka peluang untuk dilakukan reklamasi.
Banyak kemudian pasal-pasal baru yang sengaja ditambahkan untuk mempertegas bahwa boleh dilakukan reklamasi, bahkan sampai pada penulisan luasan maksimal 700 hektar yang dapat dilakukan reklamasi. WALHI akan segera menuntaskan draft gugatan dan akan segera uji materil perpres tersebut. Target kami adalah membatalkan Perpres 51 tahun 2014 dan meminta Presiden RI untuk kembali mengacu pada Perpres 45 tahun 2011.
Perpres yang terbaru tersebut sudah sangat-sangat jelas bertentangan dengan RTRW Nasional sebagaimana diatur dalam PP 26 tahun 2008 karena sampai hari ini belum ada perubahan atas RTRW Nasional kita. Untuk mengembalikan kondisi dan fungsi lingkungan, tidak dengan rekalamsi dan tidak dengan istilah revitalisasi, upaya rehabilitasi lingkungan yang harus dilakukan. Menimbun atau reklamasi akan merusak siklus hidrologi antara darat dan laut dan sangat berpotensi terjadinya bencana ekologis. Reklamasi juga akan berpengaruh pada konektifitas ekosistem di perarian dan bisa berdampak pada ekosistem di wilayah perarian lain karena siklus itu akan terputus dengan adanya reklamasi dan secara otomatis berdampak pada hasil tangkapan masyarakat, berdampak pada perekonomian dan akhirnya bedampak buruk pada kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada alasan kuat yang bisa dipertahankan untuk mendukung rencana reklamasi tersebut, tetapi kalau alasan pemaksaan perubahan regulasi untuk melakukan reklamasi, itu yang mungkin lebih tepat dan hal itu adalah bencana bagi masyarakat. Demikian rilis yang diterima redaksi di Jakarta dari Edo Rakhman, Manager Kampanye WALHI Nasional, Minggu (14/9).(wlh/bhc/sya) |