*1 Tewas Kena Panah, 3 Luka Tembak Kena Peluru Kaliber Senjata AK-47 Brimob
JAKARTA, Berita HUKUM – Suasana mencekam masih menyelimuti warga Desa Lewonara dan warga Desa Lewobunga yang sejak sore tadi masih saling serang, Kamis (4/10). Dalam perang tanding ini, tiga orang warga terluka terkena tembakan senjata api. Diduga kuat tembakan itu bukan dari dua kelompok, tapi berasal dari oknum anggota Brimob yang melepaskan tembakan di area konflik lahan milik Desa Lewonara. Terbukti peluru yang bersarang di bagian kaki kedua korban yang berhasil dikeluarkan oleh tim medis rumah sakit setempat ini adalah jenis peluru kaliber dari jenis senjata laras panjang AK-47 dan M16 milik aparat terkait.
Amirul Mu’min, tokoh agama setempat saat dikonfirmasi via telepon seluler menceritakan, warga merasa terintimidasi oleh kehadiran Polri, Brimbob dan TNI bersenjata laras panjang yang memasuki area konflik. Keberadaan mereka menimbulkan antipati warga terhadap Polisi yang memicu penyerangan tadi sore.
“Padahal tadi pagi sempat diadakan musyawarah bersama dan kesepakatan antara warga Desa Lewonara dengan aparat. Dalam kesepakatan itu, warga Desa Lewonara meminta secara arif, agar kelompok dari warga Desa Lewobunga pergi meninggalkan lokasi area konflik di atas lahan milik Desa Lewonara,” ujarnya.
Namun, hingga sore tadi warga dari desa Lewobunga masih berada di lokasi lahan milik Desa Lewonara, konflik pun tidak terelakkan hingga korban berjatuhan.
Amirul Mu’min meminta Gubernur Frans Lebu Raya, Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin dan Anggota DPRD Flores Timur Robert Kreta alias Roby bertangungjawab atas pertikaian, karena masalah ini ditengarai adanya tekanan dan unsur politik yang berkaitan dengan Pilkada yang waktunya tidak lama lagi.
“Mereka ingin menguasai lahan tersebut, karena mereka melihat lokasi untuk tender mendirikan stadion dan pasar ternak, ini angkanya milyaran rupiah, sehingga ketiga pejabat ini dengan gelap mata mencoba merampas tanah yang bukan haknya.” Kata Amirul Mu’min.
Warga berharap ketiga pejabat ini harusnya arif dalam mengambil sikap, apalagi persoalan ini sangat sensitif, mengingat area tersebut adalah tanah adat, tentunya diselesaikan secara hukum adat dengan bijaksana.
Koordinator Tim Advokasi Hukum NTT, Kapitan Raja, saat dihubungi berada di Surabaya dan melalui via seluler, mencatat ada beberapa pelanggaran hak dasar warga pada tindakan pejabat pemerintah dan aparat selama menangani konflik lahan Desa Lewonara. Pelanggaran itu terutama adanya intimidasi kepada warga. “Ini melanggar hak warga untuk mendapatkan rasa aman dan penghidupan layak,” kata Kapitan.(bhc/hsn) |