JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi I DPR RI Evita Nursanty menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) memang sangat penting dan mendesak, namun bukan berarti tidak dilakukan pembahasan yang mendalam alias terburu-buru.
Demikian diungkapkan Evita saat menjadi pembicara pada acara Forum Legislasi dengan tema "Progres Percepatan Pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS)" yang diselenggarakan Biro Pemberitaan Parlemen DPR RI bekerjasama dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8).
"Sebut saja tadi dikatakan adanya tumpang tindih kewenangan antara lembaga satu dan lembaga yang lain. Harus ada sinkronisasi dan harmonisasi terlebih dahulu. Karena selama ini sepertinya belum ada yang duduk bareng membahas hal ini," ujar politisi Fraksi PDI Perjuangan itu
Sejatinya, lanjut Evita, ketika berbicara tentang siber tidak hanya semata ada di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) saja, namun juga ada Badan Intelijen Negara (BIN), TNI, Polri, bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). "Nah, bagaimana mengintegrasikan setiap siber-siber yang ada tersebut ketika terjadi serangan, hal inilah yang belum diatur," tambahnya.
Undang-undang tersebut menurut Evita harus dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi terlebih dahulu. Bagaimana mengintegrasikan seluruh lembaga dan instansi yang terkait dalam siber. Sejauh ini Komisi I sebagai mitra dari BSSN malah belum diajak duduk bersama membahas RUU tersebut.
"Dari pada kita digugat di MK (Mahkamah Konstitusi) lagi, dirubah lagi, lebih baik dimatangkan saja dulu. Tidak mungkin duduk bareng dalam 1 bulan kedepan. Sehingga jika dikatakan targetnya bulan September RUU ini harus disahkan, saya ragu. Karena diperlukan detil dan isu-isu yang sangat sensitif. Intinya, UU ini kelak harus menjadi payung hukum untuk seluruh kegiatan siber yang ada serta mengintegrasikan seluruh badan instansi siber yang ada," jelasnya.
Dalam forum tersebut juga sempat terungkap ada beberapa undang-undang yang tumpang tindih dengan RUU KKS yang masih dalam pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Diantaranya UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, khususnya Pasal 3, serta Pasal 2 Kepres Nomor 52 Tahun 2017. Disana dijelaskan Intelijen Negara memiliki peran yang sama dengan BSSN.
Kemudian Pasal 29 RUU KKS dengan Pasal 25, 26 pada UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, disini sudah diatur negara tentang kerahasiaan intelejen, padahal di BSSN sendiri melakukan akses kepada perusahaan swasta berupa asuransi. Kemudian ada lagi Pasal 38 RUU KKS tentang penapisan konten overlapping dengan Kominfo, dan lain sebagainya.
Evita Nursanty berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) tidak hanya untuk melegitimasi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) saja, namun juga dijadikan payung hukum yang bisa mengintegrasikan seluruh lembaga yang melakukan kegiatan siber. Sehingga jelas wewenang dan tugas dari setiap lembaga dan instansi yang menjalani siber tersebut.
Diakui Evita, sejauh ini memang hanya BSSN instansi yang melakukan kegiatan keamanan dan ketahanan siber yang belum memiliki "cantelan" payung hukumnya. Sehingga diharapkan RUU KKS ini kelak bisa menjadi payung hukum bagi BSSN. "Namun bukan berarti hal ini membahas secara penuh tentang BSSN," tambah Evita.
Evita pun mengaku tidak mempermasalahkan jika kelak BSSN menjadi kordinator atau leader dari seluruh kegiatan keamanan dan ketahanan siber yang ada di negeri ini. Namun pertanyaannya adalah apakah mereka siap secara infrastuktur dan Sumber Daya Manusia (SDM). "Kalau mempersiapkan terlebih dahulu, perlu berapa lama? Karena ancaman siber tidak menunggu sampai tiga bulan, empat bulan, tapi now, sekarang juga," tegasnya
Sejatinya, menurut Evita bahwa cyber attack bisa diakukan dan dikenakan oleh siapa saja. Ia mencontohkan di Amerika Serikat (AS), ada National Security Agency (NSA) yang melakukan signal intelegenkemudian ada Central Intelligence Agency (CIA) di bidang human intelegen.
Sementara jika di Indonesia, seharusnya human intelegen itu bisa dilakukan BIN, sementara BSSN lebih kepada signal intelegen. Namun sebagaimana diketahui saat ini BIN tidak hanya melakukan human intelegen, namun juga hal-hal lain yang merupakan ancaman terhadap pertahanan kedaulatan nasional.
Diketahui, RUU KKS ini terdiri dari 20 pasal yang membahas tentang BSSN, mulai dari sertifikasi dan sebagainya. Padahal beberapa lembaga Negara lainnnya seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah memiliki payung hukum terlebih dahulu dan undang-undangnya tidak sampai 10 pasal.(ayu/es/DPR/bh/sya) |