JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas), Selasa (15/8). Sidang perkara Nomor 49/PUU-XV/2017 beragendakan perbaikan permohonan.
Pemohon adalah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) yang diwakili oleh Wakil Ketua Umum PP Persis Jeje Jaenudin. Pemohon memperbaiki kedudukan hukum terkait Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) PP Persis sesuai saran Hakim Konstitusi Suhartoyo pada sidang pemeriksaan pendahuluan.
"Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tentang Persatuan Islam sebagaimana ormas-ormas Islam yang lain asasnya adalah Islam. Karena Perppu itu memuat adanya frasa mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila," kata Jeje.
Sebagaimana diketahui, Pemohon menguji Pasal 59 ayat (4) huruf c Perppu Ormas yang berbunyi, "menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran ataupaham yang bertentangan dengan Pancasila". Selain itu, Pemohon menguji Pasal 61 ayat (3), Pasal 62 ayat (3), Pasal 82A Perppu Ormas.
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 61 ayat (3) dan Pasal 62 ayat (3) Perppu Ormas dinilai sebagai bentuk kemunduran demokrasi di negara hukum. sebab, Perpu tersebut telah menghilangkan peran pengadilan dalam upaya pembubaran organisasi masyarakat. Hilangnya peran pengadilan dalam upaya pembubaran organisasi masyarakat merupakan pelanggaran yang nyata terhadap salah satu prinsip pokoknegara hukum yakni due process of law.
Pemohon juga mendalilkan muatan hukum dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a Perppu Ormas maupun dalam penjelasannya merupakan bentuk aturan yang membatasi hak-hak konstitusional seorang warga negara dalam menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya serta dalam mengeluarkan pendapat.
Di samping itu menurut Pemohon, penafsiran "paham yang bertentangan dengan Pancasila" secara tunggal akan menyebabkan pemerintah dapat membubarkan ormas manapun yang dianggap bertentangan dengan Pemerintah. Hal itu menyebabkan pemerintah berpotensi melakukan upaya abuse of power dalam menjalankan negara sehingga mengancam hak-hak konstitusional warganya untuk berserikat dan berkumpul.
Hal lainnya, Pemohon menilai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A Perppu Ormas telah memberikan ketidakpastian hukum. Sebab, pasal tersebut mengatur setiap anggota dan pengurus ormas yang secara tidak langsung melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 59 dapat dikenakan hukuman pidana. Padahal, menurut Pemohon, untuk menentukan pertanggungjawaban pidana sangat diperlukan pembuktian.
Pemohon berpendapat muatan hukum pada Pasal 59, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 82A Perppu Ormas merupakan ruh dan inti dari Perppu a quo. Pemohon berkesimpulan, Perppu a quo layak untuk dibatalkan seluruhnya sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.(Nano TresnaArfana/lul/bh/sya) |