Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Haji
Menimbang Wacana Pengelolaan Ibadah Haji oleh Lembaga Independen
Thursday 15 Oct 2015 09:29:40
 

Ilustrasi. Kabah, Mekah.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Ihsan Badruni Nasution, S.Sy., S.H.

UNDANG-UNDANG Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan jaminan kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, termasuk dalam hal ini adalah melaksanakan ibadah haji bagi umat Islam. Haji merupakan peristiwa keagamaan yang sangat istimewa dan menjadi sorotan umat manusia dari seluruh dunia. Apabila dibandingkan dengan perjalanan keagamaan yang terdapat pada agama-agama lain, haji merupakan perjalanan keagamaan yang terbesar baik dari segi ukuran maupun asal-usulnya.

Penyelenggaraan ibadah haji saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan Ibadah Haji (UU PIH). Undang-undang tersebut menegaskan bahwa pemerintah melalui Kementerian Agama harus bertanggung jawab terhadap upaya memperbaiki kualitas pelayanan haji seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Salah satu upaya perbaikan tersebut diwujudkan dengan memperbaiki ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan operasional penyelenggaraan ibadah haji.

Beberapa upaya perbaikan telah dilakukan untuk memperbaiki tata kelola haji, pada tahun 2009 diterbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2009 yang menghapuskan ketentuan penggunaan paspor khusus haji. Selain itu, pada tahun 2014 juga telah disahkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengeloaan Keuangan Haji (UU PKH) yang mengamanatkan pengelolaan keuangan haji dilaksanakan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai badan hukum publik yang mandiri dan terpisah dari Kementerian Agama.

Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia sudah berlangsung sangat lama, bahkan jauh lebih lama dari usia Republik Indonesia sendiri. Menurut literatur sejarah, perjalanan haji mulai dilaksanakan secara rutin setiap tahun setelah berdirinya Kerajaan Pasai pada tahun 1292. Namun, pengalaman panjang dalam penyelenggaraan ibadah haji ini belum bisa mewujudkan tata kelola haji yang baik di Indonesia. Kondisi ini berdampak pada munculnya problem-problem teknis yang sering terulang dalam pelaksanaan ibadah haji, beberapa diantaranya seperti masalah terbaru yakni keterlambatan pengurusan visa haji, selain itu juga permasalahan pelayanan akomodasi, konsumsi, kesehatan, transportasi, dan daya dukung SDM yang terbatas (Laporan Hasil Pengawasan Tim Pengawas Haji DPR RI Tahun 2014).

Sorotan terhadap penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya pada tataran teknis penyelenggaraan saja, Kementerian Agama sebagai penyelenggara tunggal haji reguler juga tidak luput dari sorotan tajam. Kementerian Agama sebagai regulator dan operator haji dinilai tidak mampu dan bahkan muncul wacana sudah saatnya operator haji di Indonesia diserahkan kepada badan permanen di luar Kementerian Agama.

Tata Kelola Penyelenggaraan Haji di Indonesia

Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia yang jumlah penduduknya mayoritas beragama Islam telah lama menjadi bagian dari tugas negara. Menteri Agama merupakan koordinator nasional dalam penyelenggaraan ibadah haji. Penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh organisasi yang sifatnya permanen dan organisasi kepanitiaan. (Buletin KPHI, edisi kedua, 2014) Organisasi permanen terdiri dari tingkat nasional oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, tingkat provinsi oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama, dan tingkat kabupaten/kota oleh Kantor Kementerian Agama.

Adapun penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi (perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi) dilaksanakan oleh Kantor Urusan Haji (KUH) yang secara organisatoris administratif berada di bawah Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah. Organisasi penyelenggara ibadah haji yang sifatnya kepanitiaan meliputi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia dan PPIH Arab Saudi. PPIH Arab Saudi dibentuk oleh Menteri Agama sebelum pelaksanaan ibadah haji dimulai yang terdiri atas unsur Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan unsur terkait di Arab Saudi.

Dalam setiap tahun penyelenggaraan ibadah haji, Kementerian Agama membentuk PPIH serta petugas operasional pusat dan daerah yang menyertai jemaah haji (TPHI, TPIHI, TKHI, TPHD, dan TKHD) sebagai pelaksana teknis dari penyelenggaraan haji. Akan tetapi, kepanitiaan yang bersifat ad hoc ini akan menyebabkan adanya pergantian personal setiap tahun.

Dengan kepanitiaan yang senantiasa diisi oleh orang-orang yang relatif baru di posisinya maka menjadi wajar jika hampir dalam setiap penyelenggaraan haji ditemukan problem teknis yang berulang-ulang. Selain itu, penyelenggaraan petugas haji Indonesia juga dimungkinkan berasal dari masyarakat luas yang biasanya berasal dari mahasiswa sekitar Arab saudi serta WNI yang berdomisili di Arab Saudi untuk menjadi tenaga musim (Temus) haji. Temus ini belum memiliki landasan hukum yang kuat serta belum memiliki standarisasi dan sertifikasi yang jelas dalam hal kompetensi dasar yang harus dipenuhi.

Dengan demikian, akan sulit untuk mengharapkan pelayanan maksimal dan efisien bagi Jemaah haji dari petugas musiman yang tidak memiliki standarisasi kompetensi dan direkrut setiap tahunnya ini. (M. Iqbal Romzi; Problematika Penyelenggaraan Haji)

Selain itu, untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji juga dibentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). KPHI dibentuk pada tahun 2012 berdasarkan UU PIH dan baru menjalankan tugasnya pada penyelenggaraan haji tahun 2013. KPHI sendiri merupakan lembaga mandiri yang bertanggung jawab kepada Presiden untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.

Kemudian, salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan sebagai efek pengelolaan ibadah haji adalah pengelolaan keuangan. Keuangan haji yang mengelola triliunan dana Jemaah haji harus dikelola dengan prinsip profesional, amanah, transparan, dan optimal serta ditujukan untuk mendapatkan nilai manfaat seoptimal mungkin untuk peningkatan layanan bagi jemaah haji.

Salah satu reformasi dalam tata kelola keuangan haji di Indonesia adalah akan hadirnya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pengelolaan keuangan haji secara operasional akan dikelola oleh BPKH meskipun pada tingkat kebijakan pengelolaan keuangan haji masih tetap berada di tangan Menteri Agama. Berdasarkan UU PKH, BPKH harus sudah terbentuk paling lama 1 (satu) tahun setelah diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014, sehingga pada tanggal 17 Oktober 2015 BPKH harus sudah terbentuk dan menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat dari UU PKH.

Selain peran negara yang termanifestasikan dalam Kementerian Agama maupun KPHI dan BPKH, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga melibatkan peran serta masyarakat. Hadirnya lembaga atau organisasi seperti Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) juga ikut mewujudkan pembangunan tata kelola haji menuju arah yang lebih baik. Peran KBIH dalam membimbing jemaahnya dalam manasik maupun pada saat pelaksanaan merupakan wujud nyata peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Selain itu, pembangunan rumah sakit Islam di Klaten Jawa Tengah, SMU Unggulan di Bogor Jawa Barat, Koperasi Haji di Jawa Timur, BPR di Jakarta, dan lainnya juga merupakan kinerja nyata peran serta masyarakat yang melembagakan diri melalui IPHI, KBIH, maupun lembaga sejenis lainnya untuk kegiatan-kegiatan sosial pasca melaksanakan ibadah haji. (Affan Rangkuti; http://haji.kemenag.go.id)

Wacana Pengelolaan Ibadah Haji oleh Lembaga Independen

Perangkapan peran Pemerintah sebagai regulator dan operator dalam penyelenggaraan ibadah haji disinyalir mengakibatkan kualitas pelayanan haji yang tidak maksimal karena potensi distorsi yang tinggi. Hubungan antara regulator dan operator yang bersifat vertikal akan menyulitkan pengawasan dan penerapan mekanisme reward and punishment. (KPPU RI: Laporan Akhir Evaluasi Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Persaingan Usaha dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang Penyelenggaran Haji) Dualisme peran dari Kementerian Agama ini juga bisa berdampak pada proses yang tumpang tindih dalam penyusunan kebijakan dan implementasi kebijakan, hal ini akan berdampak pada tataran pelaksanaan kebijakan dalam penyelenggaraan haji yang belum sepenuhnya berorientasi pada pelayanan maksimal kepada jemaah haji.

Dengan melihat kompleksitas permasalahan perangkapan peran Kementerian Agama sebagai regulator dan operator serta untuk menghindari adanya vested interest dan abuse of power maka banyak berkembang usulan dan masukan tentang perlunya pembuatan cabang kekuasaan yang memisahkan peran eksekutor penyelenggaraan ibadah haji dari regulator atau legal policy.

Keberadaan lembaga independen atau badan khusus ini setidaknya memiliki beberapa alternatif format kelembagaan, antara lain: (1) badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada Presiden, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; (2) lembaga independen yang terdiri dari berbagai instansi, seperti Otoritas Jasa Keuangan; (3) lembaga pemerintah nonkementerian, seperti Badan Kepegawaian Negara; atau (4) Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Keberadaan lembaga independen atau badan khusus penyelenggara haji ini akan memungkinkan adanya suatu efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan haji, khususnya dalam penyediaan jasa transportasi, akomodasi, dan konsumsi. Lembaga independen tersebut dapat dioptimalkan untuk melakukan kontrak jangka panjang dalam penyediaan seluruh jasa dari kebutuhan penyelenggaraan haji.

Dengan demikian, biaya penyelenggaraan ibadah haji yang mayoritas dari biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsi dapat diminimalisir dengan adanya kontrak jangka panjang tersebut. Selain itu, keberadaan lembaga independen ini juga akan dapat menjadikan Kementerian Agama lebih fokus berperan sebagai regulator dalam menetapkan kebijakan-kebijakan haji yang lebih profesional dan bermanfaat.

Usulan dibentuknya lembaga independen yang akan dapat bekerja dengan optimal dan akan mengurangi beban kinerja dari Kementerian Agama juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain: (1) biaya kelembagaan yang mahal;

(2) pembinaan ibadah haji yang sulit dikendalikan, karena pada saat ini pelaksana pembinaan ibadah haji adalah Kantor Urusan Agama yang berada dibawah Kementerian Agama dan hampir terdapat diseluruh kecamatan;

(3) tidak sesuai dengan substansi UU PKH. Selain bertambahnya beban man, money dan material, dampak dalam pembentukan lembaga baru juga tidak sesuai dengan visi dan misi pemerintah yang berusaha untuk melebur beberapa lembaga negara nonsruktural untuk efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan roda pemerintahan. Hingga saat ini, dengan jumlah kementerian yang hanya 34 kementerian, sementara jumlah lembaga pemerintah nonkementerian ada 29 dan lembaga nonstruktural sebanyak 102 lembaga.

(http://www.menpan.go.id) Hal ini tentu akan mengakibatkan inefisiensi anggaran dan berpotensi menimbukan tumpang tindih tugas dan kewenangan antara kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan lembaga nonstruktural. Oleh karena itu, kebijakan kedepan hendaknya dapat menghindari pembentukan lembaga-lembaga baru serta mempertimbangkan pemanfaatan kementerian atau lembaga yang sudah ada dan diperkuat baik dari sisi sumber daya manusia, anggaran dan kesekretariatannya.

Selain itu, usulan pembentukan lembaga independen atau badan khusus sebagai otoritas pelaksana/operator penyelenggaraan haji reguler tentu juga akan mengakibatkan kompleksitas dan tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan haji di Indonesia. Andai pembentukan lembaga independen atau badan khusus tersebut terealisasi, maka akan bertambah lagi lembaga yang tugas dan fungsinya dalam penyelenggaraan ibadah haji. Pada saat ini saja sudah ada Kementerian Agama, Komisi Pengawas Haji Indonesia, lalu akan dibentuk Badan Pengelola Keuangan Haji berdasarkan UU PKH, dan ditambah dengan usulan pembentukan lembaga independen pengelola haji.

Hal ini tentu saja akan menambah kompleksitas dan juga potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan akan semakin besar. Oleh karena itu, usulan pemisahan fungsi regulasi dan operator sebenarnya akan lebih efisien dan efektif dilakukan pada pengelolaan keuangan haji saja. Ketentuan pemisahan dalam pengelolaan keuangan haji inilah yang diamanatkan oleh UU PKH melalui Kementerian Agama sebagai regulator dan BPKH sebagai pelaksana pengelolaan keuangan haji.

Tantangan dan Harapan Kementerian Agama Kedepan

Penyelenggaraan ibadah haji yang tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan baik pada level teknis maupun nonteknis merupakan realitas yang harus dihadapi dan disikapi oleh Kementerian Agama atas nama pemerintah. Penyelenggaraan ibadah haji merupakan kegiatan yang kompleks dengan melibatkan banyak pihak, mengelola banyak uang, dan dilaksanakan dalam rentang waktu yang serentak dan panjang tentu akan melahirkan dinamika dan tuntutan baru yang harus ditanggapi secara positif.

Selain itu, sebagai salah satu kegiatan yang dilaksanakan di luar wilayah Indonesia maka kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang sering berubah secara mendadak juga turut mempengaruhi kompleksitas penyelenggaraan ibadah haji. Salah satu dinamika dalam penyelenggaraan ibadah haji baru-baru ini adalah penerapan sistem haji elektronik (e-hajj) oleh otoritas Kerajaan Arab Saudi yang baru diimplementasikan pada tahun 2015 ini.

Dengan kondisi penyelenggaraan ibadah haji yang dinamis dan kompleks maka Kementerian Agama sebagai otoritas pelaksana haji harus segera melakukan perbaikan organisasi, sistem, metode kerja, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, dan penerapan teknologi informasi yang semakin canggih. Oleh karena itu, dalam melakukan revisi terhadap UU PIH perlu untuk menekankan kedudukan Kementerian Agama sebagai penyelenggara ibadah haji dengan perbaikan-perbaikan yang fundamental, antara lain:

(1) kelembagaan petugas haji dan pembimbing haji harus dilakukan secara berkelanjutan/permanen dengan petugas yang profesional dan tersertifikasi oleh lembaga sertifikasi profesi;

(2) pengelolaan keuangan haji sepenuhnya melalui BPKH berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU PKH;

(3) diperlukan sinergitas dan kerjasama antara Kementerian Agama dengan BPKH dalam efisiensi dan efektivitas pelayanan haji, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah melalui investasi BPKH dalam pengadaan transportasi, akomodasi, dan konsumsi dengan prinsip efisiensi, kontrak jangka panjang, dan sesuai standar untuk mengurangi beban biaya penyelenggaraan ibadah haji;

(4) peningkatan kualitas SDM Kementerian Agama dalam penyelengaraan ibadah haji terutama pada jajaran pimpinan atau staf teknis pada bidang-bidang tertentu; dan

(5) memperkuat fungsi pengawasan, baik yang dilakukan oleh pengawas internal (wasnal) maupun pengawasan oleh KPHI, DPR, dan BPK. Dengan perbaikan berbagai ketentuan, tata kelola, pembinaan, perlindungan Jemaah haji, dan pengaturan keuangan haji yang mandiri, tentu saja diharapkan akan memperbaiki kondisi tata kelola penyelenggaraan haji di Indonesia.(ibn/bh/sya)

Penulis adalah Legislative Drafter bidang Kesra, Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI.



 
   Berita Terkait > Haji
 
  Biaya Haji 2024 Resmi Ditetapkan Rp56 Juta per Jemaah
  Kesiapan Asrama Haji Banten untuk Jadi Embarkasi 2024 Perlu Dukungan Banyak Pihak
  Wisnu Wijaya: F-PKS Tolak Usulan Kenaikan Biaya Ibadah Haji dan Sampaikan Solusinya!
  Kuota 2024 Bertambah, Jangan Sampai Persoalan Haji Tahun Lalu Terulang
  DPR: Jangan Ada Satu Kuota Haji Tambahan yang Tak Terpakai
 
ads1

  Berita Utama
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet

 

ads2

  Berita Terkini
 
Apresiasi Menlu RI Tidak Akan Normalisasi Hubungan dengan Israel

Selain Megawati, Habib Rizieq dan Din Syamsuddin Juga Ajukan Amicus Curiae

TNI-Polri Mulai Kerahkan Pasukan, OPM: Paniai Kini Jadi Zona Perang

RUU Perampasan Aset Sangat Penting sebagai Instrument Hukum 'Palu Godam' Pemberantasan Korupsi

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2