JAKARTA, Berita HUKUM - Anwar menyebut Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) serta Pasal 122 huruf l bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Anwar juga mengungkapkan frasa "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden" dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Panggilan untuk Pengadilan
"Terhadap argumentasi DPR tersebut Mahkamah berpendapat bahwa hak subpoena secara historis hanya diperuntukkan untuk panggilan di depan persidangan pengadilan dan itu jelas serta tegas dalam konsep penegakan hukum. Oleh sebab itu, apabila kemudian DPR ingin menggunakan kewenangannya untuk memanggil setiap orang, tentunya konteksnya bukan pada rapat DPR, akan tetapi yang masih mempunyai relevansi adalah ketika akan menggunakan penyelidikan dengan hak angket," jelas Palguna.
Selain itu, Mahkamah berpendapat kewenangan DPR meminta bantuan kepolisian untuk memanggil paksa setiap orang dan melakukan penyanderaan semakin jelas memiliki persoalan konstitusionalitas. Hal tersebut karena tindakan tersebut memicu kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang akan berlakunya norma Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 yang dapat menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat sebagai konstituennya dapat menjadi kenyataan.
"Oleh karena itu, lebih jauh apabila hal ini dihubungkan dengan dalil para Pemohon sebagaimana terurai dalam permohonan a quo, maka menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 beralasan menurut hukum," tuturnya.
Sementara, terkait Pasal 122 huruf I yang memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lainnya terhadap orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dinilai merendahkan martabat DPR dan anggota DPR, Palguna menjelaskan kedudukan MKD sebagai lembaga internal DPR yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat DPR. Oleh karena itu, lanjutnya, penambahan tugas MKD hingga dapat mengambil langkah hukum bagi pihak di luar anggota DPR dan pihak di luar sistem pendukung DPR yang dinilai telah merendahkan martabat DPR jelas tidak sesuai dengan fungsi pokok MKD sebagai penjaga dan penegak etik DPR dan anggota DPR. "Selain itu, penambahan tugas MKD yang demikian dapat menimbulkan rasa takut bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam turut serta mencegah terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR," jelasnya.
Bukan untuk Tindak Pidana
Secara kontekstual, Saldi melanjutkan, maksud pembentuk undang-undang merumuskan norma sebagaimana termuat dalam Pasal 245 UU MD3 adalah dalam konteks pemenuhan hak imunitas anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Dalam kaitan ini, sambungnya, meskipun secara tersirat telah disinggung dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, penting ditegaskan bahwa pemberian hak imunitas terhadap anggota DPR sebagai hak konstitusional bukanlah dimaksudkan melindungi anggota DPR yang melakukan tindak pidana dan membebaskannya dari tuntutan pidana, melainkan semata-mata agar anggota DPR dalam melaksanakan hak, fungsi, maupun tugas konstitusionalnya tidak mudah dikriminalkan.
Kemudian Saldi pun menegaskan meskipun Mahkamah sependapat dengan para Pemohon sehingga permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, yaitu bahwa norma yang terkandung dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, tetapi Mahkamah memiliki pendapat dan pertimbangan sendiri yang sejalan dengan semangat atau hakikat yang dimohonkan oleh para Pemohon. Pertimbangan tersebut esensinya adalah bahwa syarat adanya pertimbangan MKD terlebih dahulu untuk memanggil anggota DPR dapat menjadi penghambat bahkan meniadakan syarat adanya persetujuan tertulis dari Presiden sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014.
Dalam sidang tersebut, MK juga memutus enam perkara lainnya untuk pengujian UU Pemilu, yakni perkara Nomor 17, 18, 21, 25, 26, 28/PUU-XVI/2018 dengan amar putusan tidak dapat diterima.(LuluAnjarsari/DPR/bh/sya) |