JAKARTA, Berita HUKUM - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) menyatakan syarat pemberian remisi yang sebelumnya terdapat dalam PP No 99/2012 dinilai sulit dilakukan. Staf Ahli Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kemenkum HAM, Ma'mun, mengatakan syarat seperti berkelakuan baik dan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus bukanlah perkara mudah.
"Dalam membongkar kasus korupsi, terpidana sangat sulit bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Karenanya kita mau merevisi itu (PP No 99/2012)," keluhnya.
Ma'mun menambahkan, masalah hukum sudah selesai saat putusan pengadilan, setelah itu menjadi ranah eksekutif untuk pembinaan.
Pada kesempatan yang sama, Plt Pimpinan KPK, Johan Budi, mempertanyakan tolak ukur berkelakuan baik. Apa penentuannya berdasarkan subyektivitas (dari Kemenkum HAM) atau dari yang lain?
Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengatakan sebaiknya sebelum merevisi PP No 99/2012, Kemenkum HAM menunggu pembahasan regulasi yang masih dibahas di DPR. Dalam hal ini revisian UU KUHAP dan KUHP.
"Ini kan sudah masuk dalam prolegnas 2015-2019. Oleh karena itu, jika sekarang direvisi akan mengakibatkan tumpang tindih dengan regulasi yang sedang digodok," ujarnya.
Selain itu, lanjut Arsul, Hakim juga harus memberikan hukuman seberat-beratnya dalam putusannya. Faktanya masih banyak terpidana korupsi yang diputus dengan hukuman ringan.
"Hakim harus berani menjatuhkan hukuman seperti pencabutan hak pembebasan bersyarat atau remisi,” tegasnya.
Sementara, niatan Kemenkum HAM melonggarkan pemberian remisi dengan merevisi PP No 99/2012 merupakan bentuk kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Pasalnya, koruptor tidak bisa disamaratakan dengan pelaku tindak pidana lainnya.
"Menurut kami (KPK), remisi tidak boleh diberlakukan sama antara maling ayam dan koruptor. Harus dilihat tingkat kejahatannya," kata Plt Pimpinan KPK, Johan Budi, di Kantor ICW dalam konferensi pers, Selasa (24/3) lalu.
Johan menuturkan, jika semangat remisi hanyalah untuk mengembalikan domain Kemenkum HAM tanpa melibatkan penegak hukum (KPK), hal ini tidak masalah. Namun, dalam menindak perkara korupsi, tujuan utamanya bukan hanya mengembalikan uang negara, melainkan hukuman yang memberikan efek jera.
"Korupsi itu menyengsarakan masyarakat dan berjangka panjang. Menurut dunia, korupsi itu sama saja dengan kejahatan HAM," ujarnya.
Sementara itu, Staf Ahli Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kemenkum HAM, Ma'mun, menyatakan meskipun korupsi merupakan kejahatan luar biasa namun hak narapidana untuk mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat tidak dihilangkan.
Dalam hal ini, aparat penegak hukum (KPK) tidak bisa mengintervensi pemberian remisi yang menjadi ranah Kemenkum HAM. "Kita tetap kembalikan fungsinya (KPK) sebagai penyidik dan penuntut, begitu juga aparat penegak hukum lainnya," kata Ma'mun.
Ia menegaskan, dalam pemberian remisi, Kemenkum HAM melibatkan penyidik sesuai kasus yang ditangani pada sidang tim lembaga pemasyarakatan. Di sana penegak hukum (KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian) diundang untuk dimintai masukan dan koreksi dalam menjatuhkan remisi.
"Remisi ada pada ranah eksekutif dalam pembinaan dan remisi merupakan hadiah serta hak prerogratif kepala negara," tegasnya.(antikorupsi/bh/sya) |