JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Krisis terus melanda, dan belum memasuki fase penyembuhan. Krisis ini pun melanda yang masih terus melanda “jantung” dunia, Amerika dan Eropa.
Pada kuartal II 2012 ini, China dan India, yang sejatinya menjadi “cahaya harapan” bagi perekonomian Asia di dalam skala globa justru tidak menunjukkan tanda-tanda yang menggemberikan. Pertumbuhan ekonomi China tercatat 8,1 persen year on year atau menurun lima kali berturut-turut sejak kuartal IV-2010. India pun mengalami hal yang mirip dengan China, penurunan lebih drastis ke 5,3 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata ideal 2001-2011 sebesar 7,4 persen. Diperkirakan, kedua negara ini mengalami dampak sentimen negatif atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Akibat gempa dan Tsunami di Jepang menyebabkan ditutupnya pembangkit tenaga nuklir Fukushima belasan ribu warga Jepang menjadi korban, demikian pula perekonomian negaranya. Terjadi defisit untuk pertama kali sejak tahun 1980.
Kondisi itu pun berdampak terhadap pasar ekonomi regional, Indonesia. Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) M Chatib Basri memaparkan bahwa dalam waktu dekat, dalam waktu 100 hari.
Lebih lanjut, Indonesia dinilai sudah masuk dalam tahapan krisis. Tanda-tanda tersebut terlihat dari pelemahan rupiah, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan penipisan likuiditas valas, dolar Amerika Serikat. Hal ini disampaikan Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono.
Selain indikasi tersebut, dampak krisis juga terlihat dari neraca perdagangan dan ekspor lebih rendah dibandingkan impor. “Kita sudah krisis sekarang, kita waspada, bagi bank kita harus hati-hati,” kata Sigit, siang tadi (14/06), kepada wartawan. (bhc/frd)
|