JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI terhadap pemukiman warga di bantaran Sungai Ciliwung, Kelurahan Bukit Duri, Tebet Jakarta Selatan, telah melanggar proses hukum yang masih berjalan.
Pasalnya, gugatan class action menuntut penghentian normalisasi Sungai Ciliwung yang dilayangkan warga Bukit Duri terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, masih bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Siane Indriani mengaku kedatangannya ke lokasi untuk memantau proses jalannya pembongkaran yang berlangsung sejak pukul 08.00 WIB pagi, Rabu (28/9).
"Pemprov tidak menghormati proses hukum yang sedang berlangsung, ini kan Pemprov yang melakukan pelanggaran hukum lalu di mana penegak hukum ketika penguasa melanggar," kata Siane di lokasi, Rabu (28/9).
Menurut Siane, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pemprov dapat berakibat buruk bagi warga. Pertama, masyarakat dapat alami rasa frustasi karena tidak adanya penegakan hukum yang adil. Kedua, masyarakat tidak akan lagi percaya pada hukum.
Siane mengaku, Komnas HAM sudah mengajukan permintaan penangguhan rencana penggusuran di RW 10, RW 11 dan RW 12 kepada Pemprov DKI Jakarta.
Hal ini dimaksudkan agar Pemprov DKI mau menunda pembongkaran hingga adanya keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) demi menghormati proses hukum yang tengah berlangsung.
Lebih jauh Siane menuturkan, Penangguhan ini dilakukan berdasarkan pada Pasal 89 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Kenyatannya, prosesnya ternyata tidak ditaati saya khawatir ini akan membuat masyarakat frustasi dan mereka tidak percaya kepada hukum," ungkap dia.
Menurut Siane, penegak hukum seharusnya bertindak tegas ketika Pemprov DKI melakukan pelanggaran hukum seperti saat ini. Penegak hukum itu yakni pihak kepolisian dan Kejaksaan.
"Seharusnya ditindak secara hukum, polisi bertindak, Anda (penguasa daerah dan Pemprov DKI) melanggar hukum. Harusnya adil kepada semua pihak. Karena kami melihat ada potensi pelanggaran HAM," tandasnya.
Sementara, Banyak tokoh dan aktivis kemanusiaan menentang keras penggusuran di Bukit Duri, mengingat ada banyak warga yang memiliki sertifikat.
Petinggi KontraS, Haris Azhar, melalui akun Twitter @haris_azhar menegaskan: "Ada banyak warga yg memiliki sertifikat di Bukit Duri. Pemda DKI tdk bisa gusur. Unlawful! Apalagi pakai kekerasan. Haram."
Meskipun banyak tokoh nasional hadir di Bukit Duri, backhoe tetap menggilas rumah-rumah warga di RT 06 RW 12 Bukit Duri. Tokoh nasional yang tampak hadir adalah Jaya Suprana dan Romo Sandyawan Sumardi.
Ironisnya, Sanggar Ciliwung Merdeka, yang didirikan Romo Sandyawan, ikut digilas beckoe. Di lokasi Romo Sandyawan menegaskan bahwa warga tak akan melakukan perlawanan fisik sebab perlawanan sesungguhnya sedang bergulir di meja pengadilan.
"Di sini aksi damai sebetulnya representasi warga di Jakarta. Beberapa hari lalu bahkan datang solidaritas dari Jogja, gusuran Parangkusumo. Kami bukan korban, kami survivor, penyintas, yang tidak akan tunduk akan penggusuran ini," kata Sandyawan berorasi di depan sanggarnya.
Sandyawan menyebut pemerintah tak adil dan tak menghargai proses hukum sebab pembongkaran tetap dilakukan kendati gugatan masih berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sebanyak 150 warga yang tercatat sebagai penggugat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, hanya menggantungkan perjuangannya di meja pengadilan, pasrah terhadap keputusan pemerintah.
Selain menggugat upaya normalisasi Sungai Ciliwung di PN Jakarta Pusat, warga yang menolak juga telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, mempertanyakan keabsahan dan kewenangan surat peringatan (SP-1) yang diterbitkan Pemkot Jakarta Selatan. Pemerintah dianggap telah berupaya menghilangkan barang bukti di tengah jalannya sidang, yaitu rumah-rumah warga yang telah puluhan tahun berdiri di sana.(fsb/aah/aktual/intelijen/bh/sya) |