Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Korupsi
Dongeng Panjang Ihwal Korupsi
Friday 13 Feb 2015 01:31:31
 

Ilustrasi.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Didiek Danuatmadja

SAMPAI sekarang korupsi di Indonesia masih menempati posisi teratas sebagai negara terkorup di dunia. Bahkan dari tahun ke tahun kegiatan untuk mengkorup terus saja meningkat. Kualitas dan kuantitasnya juga kian meningggi. Pejabat-pejabat pusat maupun daerah, apakah dia menempati posisi di lembaga Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif oknum-oknumnya ramai-ramai mengkorupsi. uang rakyat (terutama melalui) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD.

Uang rakyat itu dirampok secara sistematik, bahkan struktural, termasuk oleh sejumlah pemimpin-pemimpin partai politik (parpol). Lahir suara-suara pesimistik bernada sengak, sejak lama korupsi mau diberangus, tapi nyatanya malah kian membudaya. Lalu sebuah pertanyaan sinistik pun terucap, “punya modal apa mau memberantas korupsi?”.

Ahli ekonomi politik, WF Wertheim menyampaikan batasan atau arti korupsi dengan mengatakan bahwa, seorang pejabat disebut melakuan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhi agar mengambil keputusan yang menguntungkan si pemberi hadiah. Korupsi juga bisa berbentuk pemerasan atau menggunakan uang negara yang berada di bawah pengawasannya untuk kepentingan pribadi. Atau kelompoknya.

Tragis, dibanding negara-negara lain, Indomesia sebenarnya memiliki elemen paling banyak dan berlapis-lapis pada lembaga pengawasan. Mulai dari atasan langsung, Badan Pengawas Daerah, DPR/DPRD, inspektorat jenderal departemen, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Pusat dan Perwakilam, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pers, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan macam-macam lembaga lain. Seperti yang sangat terkenal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sialnya, banyaknya lembaga-pembaga pengawasan ternyata tak sebanding lurus dengan berkurangnya tindak pidana korupsi. Yang terjadi justru sebaliknya. Modus operandinya malahan makin variatif, lihai dan kian cerdas. Tetapi korupsi jalan terus, seolah-olah kian banyaknya lembaga pengawsan, turut andil mengantar negara Indonesia dalam mempertahankan posisinya sebagai negara terkorup di dunia.

Pengakuan yang cukup mengharukan tentang pengawasan, pernah disampaikan oleh kalangan pengawas sendiri. Disebutkan, 94 persen aparat pengawas internal pemerintah, di pusat maupun daerah, ternyata belum mampu mendeteksi korupsi dengan baik. Kesimpulan ini bukan sembarangan, sebab merupakan hasil pemetaan data Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), berdasarkan pendekatan Intern Audit Cappability Model (IACM) terhadap 331 APIP.

Dari 5 level dalam pendekatan IACM, menghasilkan data, 93,96 persen pengawas masih berada di level II dan hanya satu APIP di level III. Level I tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi korupsi. Kemampuan dimiliki oleh level II ke atas. Dari keseluruhan yang ada, hanya 7 yang memiliki satuan pengawas internal level II, sementara hanya 2 daerah di Indonesia yang berada di level tersebut. Level III dimiliki oleh BPKP.

Berbagai seminar yang pernah digelar dengan topik “Pencegahan Korupsi melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Public dan Pengelolaan APBD” tidak manpu menghasilkan secara efektif untuk memberantas korupsi. Isu-isu nasional saat ini diantaranya menyebut, masalah opini tidak memberikan pendapat (diselemairs) dan tidak wajar (adverse) oleh BPK atas laporan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Opini ini sudah pasti dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah pusat maupun daerah.

Maka, bukan kita mau bercanda, seandainya pemerintah serius mau memberantas korupsi, prioritas pertama program pemerintah justru, seharusnya yang diutamakan adalah membangun penjara sebanyak-banyaknya, lantaran mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat tingkat RT, banyak yang melakukan korupsi.

Rakyat pun bingung, siapa sebenarnya yang tepat untuk memberantas korupsi dan siapa yang harus diberantas? Keseriusan memberatntas korupsi juga masih dipertanyakan, masih ada kecenderungan “tebang pilih” akibat pengaruh politik dan kekuasaan.

Dalam contoh kecil, sebenarnya kita perlu meniru semangat pemerintah Filipina. Polisi di sana, dalam mengawasi perilaku pejabat agar tidak suka bermewah-mewah dan mencari duit secara tidak halal, telah mengeluarkan peraturan yang cukup unik. Pengunjung Mall dilarang memakai topi dan kacamata hitam untuk mengetahui identitas pejabat yang berbelanja di mal-mal itu. Selain itu juga agar dapat diketahui identitas para penjahat.

Dalam catatan, memang sejak 2004-2009 pemerintah telah merancang mau memberantas korupsi secara serius, misalnya dengan pembentukan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) yang dimotori oleh Bappenas. Tidak hanya itu, pemerintahan SBY dan partai yang kini langsung dipimpinnya, juga mengiklankan secara besar-besaran jargon : “Katakan Tidak untuk Korupsi!”. Hasilnya? Sejumlah pemimpin partai yang berkuasa turut-turut melakukan penjarahan uang rakyat lewat proyek-proyek departemen.

Apa boleh buat, korupsi sebagai penyakit sosial, konon sama tua usinya dengan profesi pelacur. Menurut sejarahnya, korupsi hadir dalam berbagai bentuk dan kemasan. Menjalar ke berbagai komunitas masyarakat pada kurun waktu yang sangat lama. Masyarakat pun sudah telanjur turut-turut “sakit”, lebih menghormati orang kaya meski dari hasil korupsi ketimbang seseorang yang sederhana dan tidak korup.

Asal tahu saja, pengawasan tindak korupsi telah berlangsung sejak dulu kala. Tahun 1130 misalnya, telah ditemukan dokumen akuntansi The Exchequers of England and Scotland. Jauh sebelum itu, Prancis dan Italia telah melakukan kegiatan audit dan pengawasan di abad 13 bagi para pejabat publik. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan sampai pemerintahan Bung Karno, juga sudah ada langkah-langkah preventif secara hukum. Pada 9 September 2004 muncul Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. PBB juga telah lama mencanangkan Hari Korupsi Internasional. Jadi apanya lagi yang salah? *.(bhc/rat)


Penulis Didiek Danuatmadja, adalah Jurnalis, Pemerhati masalah Sosial dan Politik.



 
   Berita Terkait > Korupsi
 
  Menjadi Pahlawan Masa Kini, Melawan Korupsi yang Menjajah Negeri
  Dua Terdakwa Mantan Dirut dan Mantan Direktur PT AKU Dituntut 15 Tahun Penjara
  Majelis Hakim PN Tipikor Samarinda Vonis Mantan Bupati Kutim Ismunandar 7 Tahun Penjara
  Tak Ada Efek Jera untuk Pelaku Korupsi, HNW: Publik Melihat Semakin Banyak Dagelan
  Mantan Bupati Kutim Ismunandar Dituntut 7 Tahun Penjara, Istrinya Dituntut 6 Tahun Penjara
 
ads1

  Berita Utama
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet

 

ads2

  Berita Terkini
 
Pengemudi Mobil Plat TNI Palsu Cekcok dengan Pengendara Lain Jadi Tersangka Pasal 263 KUHP

Apresiasi Menlu RI Tidak Akan Normalisasi Hubungan dengan Israel

Selain Megawati, Habib Rizieq dan Din Syamsuddin Juga Ajukan Amicus Curiae

TNI-Polri Mulai Kerahkan Pasukan, OPM: Paniai Kini Jadi Zona Perang

RUU Perampasan Aset Sangat Penting sebagai Instrument Hukum 'Palu Godam' Pemberantasan Korupsi

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2