DENPASAR-Rencana pembangunan sarana KTT APEC ke-13 yang berlokasi di Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, mendapat kecaman aktivis Walhi dan Front Demokrasi Perjuangan Bali (FDPB). Aksi ini berlangsung di Lapangan Puputan, Renon, Denpasar, Jumat (19/8).
Para aktivis sengaja memilih tempat itu, karena berada tepat di depan Kantor Gubernur Bali. Aksi penolakan tersebut dilakukan dengan menggelar orasi dan menaikkan ratusan layang-layang berukuran besar dan kecil bertuliskan penolakan terhadap pembangunan sarana KTT APEC bernama Bali International Park (BIP).
Aksi tersebut mendapat teguran dari petugas dari UPT Museum Bajrasandhi. Ia melalui pengeras suara meminta aktivis menghentikan aksinya, karena layang-layang dilarang dimainkan di lapangan utama. Selanjutnya, para pendemo diminta untuk memindahkan aksinya ke tempat lainnya.
Permintaan itu tak dipedulikan para pendemo. Juru bicara aksi A Haris dalam orasinya mengatakan, pembangunan sarana KTT APEC jelas-jelas melanggar HGB. Investor dari PT Jimbaran Hijau atas nama Frans Bambang Siswanto mengklaim jika tanah seluas kurang lebih 250 hektar tersebut adalah miliknya dan diserahkan secara ikhlas untuk kepentingan negara.
"Namun, setelah ditelusuri ternyata tanah itu adalah tanah negara dan berstatus HGB. Tanah tersebut dikuasai PT Citra Tama Selaras (PT CTS) sejak 1994 dan tidak pernah dikelola sesuai izin lokasinya. Tapi saat ini investor mengklaim jika tanah tersebut adalah milik pribadinya dan akan diserahkan kepada negara," jelas Haris.
Menurut dia, berdasarkan UU Pokok Agraria (UUPA) dan PP Nomor 11 Tahun 2010, tindakan penelantaran tanah lebih dari 17 tahun harus dikenai sanksi pencabutan hak atas tanah tersebut, karena sangat merugikan negara dan menghalangi masyarakat untuk mengakses kesejahteraan atas tanah tersebut.
Sementara Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, Wayan Gendo Suardana mengatakan, pembangunan sarana BIP oleh PT Jimbaran Hijau penuh kontroversial. Pemerintah pusat membuat logika hukum menjadi jungkir balik karena di satu sisi pemerintah mengaku jika Bali selatan sudah ada moratorium pembangunan berbagai sarana dan fasilitas pariwisata.
Namun, pemerintah pusat menggunakan alasan KTT Ke-13 APEC untuk kembali melakukan pembangunan saran super mewah di atas tanah seluah 250 hektar. Pemerintah pusat sama sekali tidak memperhatikan kepentingan Bali yang tanahnya sempit, dan ancaman kerusakan lingkungan sudah mulai tampak, kemacetan, kekurangan air dan sebagainya.
"Bali dikorbankan tanahnya, lingkungannya, hanya demi memuaskan pemerintah pusat. Bahkan beberapa aturan hukum diterobos, direvisi kembali untuk memuluskan megaproyek BIP tersebut," jelas Suardana. (fbc/gre)
|